REVIEW JURNAL:
Disusun oleh:
Nining Rahayu H0712138
Kelas Pengendalian Hayati AT6-C
PROGRAM STUDI
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
I.
LATAR
BELAKANG
Pisang adalah tanaman pangan pokok yang paling penting di
Uganda dan. diperkirakan
sekitar 35-50% dari
pengeluaran anggaran pangan rumah tangga dialokasikan untuk konsumsi pisang
(Kiiza et al., 2004 dalam Biruma et al., 2007). Budidaya pisang di Indonesia hampir tidak memerlukan biaya
produksi karena dibiarkan tumbuh di sembarang lahan. Padahal menurut Hafif
(2006 dalam Hadiwiyono 2010) usaha tani pisang Ambon Kuning dapat diperoleh RoI
51.68% dan B/C ratio sebesar 1.52.
Pisang Xanthomonas layu (Banana Xanthominas Wilt/BXW) juga dikenal sebagai pisang layu
bakteri (Banana
Bacterial Wilt/BBW) yang disebabkan oleh Xanthomonas vasicola pv. musacearum (Xvm) (sebelumnya Xanthomonas
campestris pv musacearum) (Valentine et
al., 2006 dalam
Biruma et al., 2007) adalah
penyakit yang pertama
kali muncul di Ethiopia
pada tahun 1960-an, lalu terdeteksi di Uganda pada tahun 2001. Penyakit layu fusarium di Indonesia
terdeteksi sejak 1999 di Sumatera Barat dan penyakit darah pisang sejak tahun
1995 di Padang (Nasir et al., 2005). Penemuan X. campestris pv. musacearum
didasarkan
pada urutan
DNA dan data asam
lemak telah menunjukkan bahwa strain
X. campestris pv. musacearum memiliki
homologi sangat dekat dengan strain Xanthomonas vasicola dan kemungkinan besar milik spesies ini. Dengan
demikian, nama X. vasicola telah diusulkan
untuk X. campestris
pv. musacearum (Aritua
et al., 2006
dalam Smith et al., 2008), meskipun hal ini belum secara resmi. Penyakit pembuluh darah ini yang
menyebabkan layu permanen dan akhirnya kematian bagi tanaman.
Sangat
sedikit pengetahuan
yang dimiliki tentang siklus
hidup Xvm serta vektor bakteri lainnya, maka sebuah pemahaman mengenai informasi tentang struktur patogen, patogen keragaman dan filogeni mutlak
diperlukan dalam menentukan
strategi terbaik untuk penyebaran resistensi. Berbagai alasan yang telah dikemukakan diatas, penyusun berharap kehadiran review ini dapat
turut memberikan sumbangan ilmu bagi dunia pertanian maupun informasi
bermanfaat bagi praktisi yang menekuni bidang pertanian.
II.
PEMBAHASAN
Serangga secara tidak langsung berperan dalam proses
polinasi, karena serangga yang hanya bertujuan untuk mendapatkan nektar sebagai
makanannya, secara tidak sengaja membawa serbuk sari yang menempel pada
tubuhnya (Satta et al., 1998 dalam
Sihombing 2013). Serbuk sari dihasilkan oleh bunga dari sel-sel kelamin jantan
pada tumbuhan. Pollen diperlukan oleh lebah madu sebagai sumber protein, lemak,
sedikit karbohidrat dan mineral. Menurut Griffin dan Sedgley (1989 dalam
Kartikawati 2012) pada jenis tanaman yang penyerbukannya dibantu oleh agen
biotik, memiliki serbuk sari dengan mantel sangat lengket, hal ini memperbesar
kemungkinan serbuk sari dapat melekat pada tubuh serngga sehingga dapat
ditransfer ke kepala putik.
Patogen X. vasicola pv. musacearum termasuk dalam kelompok bakteri yang
ditemukan hanya dalam hubungan dengan tanaman atau bahan tanaman (Thwaites et al., 2000 dalam Biruma et al., 2007). Dalam media atau lingkungan yang
kaya akan kandungan glukosa, patogen akan menghasilkan jumlah polisakarida
ekstraseluler, yang disebut gum xanthan yang berlebihan, kemudian dapat
berkontribusi terhadap penyumbatan pembuluh dalam jaringan tanaman yang
terinfeksi, dimana
penyumbatan ini akan mengakibatkan layu permanen dan bahkan kematian bagi
tanaman.
Xvm tumbuh jauh lebih lambat dibandingkan spesies bakteri
lainnya seperti Pseudomonas, Burkholderia dan Ralstonia. Dengan
demikian, di luar tanaman
inang, Xvm tidak bersaing
dengan baik dengan bakteri lain dan diperkirakan bahwa sifat pertumbuhan
lambat ini memiliki
implikasi bagi kelangsungan hidup patogen dalam tanah ketika dilepaskan dari
tanaman yang terinfeksi. Studi untuk memahami hidup patogen Xvm di dalam tanah menunjukkan
bahwa bakteri Xvm dapat bertahan
hidup di sisa-sisa tanaman cincang di dalam tanah selama lebih dari enam bulan.
Memahami patogen bertahan hidup
dalam tanah adalah penting karena saling terkait dengan rekomendasi
pengelolaan penyakit dan langkah-langkah berdasarkan rotasi tanaman (Biruma et al., 2007).
Penelitian yang dilakukan Hadiwiyono (2010), Insiden
penyakit darah pisang pada tanah Vertisol mencapai 66.46% sedangkan pada tanah
Andosol hanya mencapai 1.39%. Beberapa peneliti menjelaskan bahwa partikel clay
menjerap dan membungkus permukaan bakteri sehingga mampu merubah hubungan
kontak sel bakteri dengan lingkungan luar. Tetapi penyakit layu pisang pada
tanah Vertisol dan Andosol berbeda, namun tidak terlihat perbedaannya karena
relatif kecil.
Eden-Green (2004 dalam Biruma et al., 2007) mencatat bahwa, sisa tanaman, tanah
dan air yang terkontaminasi dan produk yang diperdagangkan termasuk buah-buahan, daun
dan bahan tanam yang dianggap sebagai sumber utama inokulum Xanthomonas.
Meskipun Brandt et al., (1997 dalam Biruma et al., 2007) melaporkan bahwa patogen mudah
disebarkan oleh setiap objek yang datang dalam kontak dengan bagian-bagian
tanaman yang terkontaminasi.
1. Cara infeksi dan penularan
Infeksi oleh bakteri terhadap tanaman
inang terjadi melaui dua tahap yaitu; penetrasi host oleh bakteri dan proliferasi bakteri di dalam host segera
setelah masuknya (Gnanamanickam et al.,
1999 dalam
Biruma et al., 2007). Observasi lapangan di Uganda menunjukkan bahwa Xvm menginfeksi tanaman pisang dapat melalui bagian bawah tanaman melalui inokulum tanah, melalui perbungaan dari inokulum terbawa oleh serangga dan mungkin melalui udara. Penularan dari tanaman bisa diakibatkan juga oleh alat-alat pertanian yang telah terkontaminasi (Biruma et al., 2007).
Masuknya patogen ke
dalam
tanaman melalui akar diduga diakibatkan oleh luka yang disebabkan oleh organisme soilborne seperti
nematoda dan serangga
karena menciptakan banyak luka
terbuka di mana bakteri menjadi
tersebar. Terluka
atau membusuk jaringan yang terinfeksi dapat memberikan inokulum yang dilepaskan ke dalam tanah dan menyebar melalui air tanah
(Biruma et al., 2007).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Penyakit layu tanaman tampaknya dipengaruhi oleh ketinggian, debudding dan
adanya 'Pisang Awak' di daerah (Addis et
al., 2004 dalam Biruma et al., 2007).
Kultivar
Pisang Awak lebih banyak di temui terinfeksi penyakit layu dibanding kultivar pisang
lainnya. Sebagai contoh
dari faktor-faktor tersebut adalah: Pertama di wilayah Kambata (1850 mdpl) tidak ada gejala penyakit
layu, padahal Pisang Awak banyak tumbuh. Sebaliknya, di wilayah Kaffa
- Barat Ethiopia (1600 mdpl)
infeksi penyakit
lebih umum dengan sejumlah besar
kultivar 'Pisang Awak'. Di Uganda (ketinggian berkisar antara 1050-1400 mdpl), penyakit ini menyebar dengan cepat di mana 'Pisang
Awak' secara luas tumbuh. Menurut Hadiwiyono (2010), di Indonesia
di daerah Sragen dan Tawangmangu tempat ketinggian 1200 mdpl masih ditemukan
penyakit layu pisang, sedang penyakit darah pisang di atas ketinggian 900 mdpl
tidak ditemukan. Pengaruh
ketinggian yang mungkin terkait dengan ada atau tidak adanya serangga vektor
dan perlu diselidiki lebih lanjut.
Kedua, kultivar 'Pisang Awak' dan 'Bluggoe' lebih rentan terhadap
infeksi daripada kultivar lainnya karena menarik banyak serangga. Dalam
Hadiwiyono (2010), kultivar Pisang Kepok dan Raja Bandung adalah jenis yang
rentan terhadap penyakit darah pisang, sedangkan kultivar pisang Ambon rentan
terhadap penyakit layu pisang. Addis
et al., (2004 dalam Biruma et al., 2007)
melaporkan bahwa kultivar Cavendish yang banyak ditanam di Western Ethiopia tidak
terinfeksi. Demikian pula, Bakelana dan Ndungo (2004
dalam Biruma et al., 2007)
melaporkan bahwa kultivar Cavendish tidak mudah terinfeksi di timur Republik Demokratik Kongo.
Namun, perlu dicatat bahwa kultivar ini tidak tahan 100% tapi hanya melarikan diri penyakit karena morfologi
perbungaannya. Kultivar
ini dapat
menunjukkan gejala penyakit ketika mereka diinokulasi.
Budden dan Elsasser (1962
dalam Biruma et al., 2007)
dan Stover (1972 dalam Biruma et al.,
2007) melaporkan bahwa
pada perbungaan, ketika bunga jantan
adalah gudang polen, transmisi
perbungaan terjadi melalui 'luka' bekas luka bunga jantan. Mekanisme
penyakit layu dari tunas jantan
adalah menguning kemudian membusuk buah-buahnya ditambah dengan eksudasi bakteri dari gagang bunga
tersebut adalah gejala umum dari infeksi melalui perbungaan sebagai akibat dari
transmisi serangga.
Penularan penyakit
melalui jarak yang sangat panjang (>120 km) telah diamati di Afrika Timur.
Transmisi jarak jauh dari penyakit ini mungkin karena vektor lain seperti burung
atau kelelawar karena hewan ini juga hinggap di pisang dan sebagai penyerbuk pisang. Kemungkinan sumber kontaminasi
adalah alat yang digunakan oleh pedagang pisang yang melakukan perjalanan dari
daerah yang terinfeksi ke zona yang tidak terinfeksi dan pisang panen dan daun
untuk dijual. Dalam kasus terakhir, penyakit ini bisa tiba-tiba muncul
pada areal pertanian (Biruma
et al., 2007).
Hadiwiyono (2010) menyatakan bahwa budidaya pisang di Indonesia, petani
cenderung tidak menggunakan bibit bermutu tetapi diperoleh dari tanaman
tetangganya. Kebiasaan saling berbagi dikalangan petani ini dapat memicu
penyebaran penyakit layu pisang yang kian menyebar hingga sudah mencapai 90%
provinsi di Indonesia.
Pengamatan di Uganda menunjukkan bahwa gejala penyakit yang lebih
jelas dan menyebar lebih cepat selama musim curah hujan tinggi (M. Pillay,
pengamatan pribadi). Gejala daun hampir tidak terlihat di musim kemarau
meskipun tanaman rentan disinggahi patogen yang
saat ini umumnya terkonsentrasi di bagian bawah tanaman (tanah).
Di Uganda, serangga vektor merupakan
faktor penting dalam menyebarkan penyakit ini,
dimana serangga yang paling
umum mengunjungi bunga pisang adalah lebah, lalat buah dan lalat rumput
(Tinzara et al., 2006
dalam Biruma et al., 2007.
3. Pilihan
pengelolaan
Secara umum, penyakit layu tanaman
yang disebabkan bakteri sulit untuk
dikontrol. Deteksi dini dan
penghancuran tanaman
yang
sakit merupakan
langkah kunci dalam mencegah
penyebaran penyakit (Karamura
et al., 2005 dalam Biruma et al., 2007). Akibatnya, pengelolaan harus fokus pada metode yang mengurangi inokulum awal dan penyebaran
selanjutnya dari patogen
antara tanaman inang. Karena penularan penyakit melalui tunas jantan adalah faktor pertama dari penyebaran, penghapusan
tepat waktu dari tunas jantan sedang telah diambil oleh petani untuk mengganggu siklus transmisi dan mencegah penyebaran penyakit. Metode lain
dari praktek manajemen penyakit termasuk
rouging segera dan mengubur tanaman yang sakit (Blomme et al., 2005b dalam Biruma et al., 2007). Dalam hal ini, pengawasan dan
pelaporan penyakit intensif diperlukan. Oleh karena itu wajib untuk menyadarkan
petani tentang penyakit layu
ini melalui kegiatan penyuluhan.
Eden-Green
(2004 dalam Biruma et al., 2007) menekankan penggunaan langkah-langkah
pengendalian dengan mengurangi
atau mencegah penyebaran lebih lanjut dari penyakit ke daerah-daerah baru atau
daerah yang belum terinfeksi itu. Hal
ini didasarkan karena pengalaman dengan penyakit terkait menunjukkan
bahwa setelah mereka menjadi mapan dalam sistem tanam pisang petani kecil,
kontrol sangat sulit dan pemberantasan menjadi hampir mustahil.
Studi kasus di
Uganda, di daerah infestasi
terbesar, petani melanjutkan kebiasaan meminjam alat-alat pertanian (Brandt et al., 1997 dalam Biruma et al., 2007).
Sebagian besar petani yang mengontrol penyakit tersebut dengan rouging tanaman
yang terinfeksi dan tidak membersihkan alat-alat mereka dengan pemutih atau
panas seperti yang direkomendasikan. Tanaman yang terinfeksi tidak dikubur
tetapi dibiarkan membusuk di ladang. Tanaman yang sakit bisa berfungsi sebagai
sumber inokulum untuk infeksi baru. Pilihan kontrol bisa
menggunakan perusakan akar yang terinfeksi dan rutin de-budding untuk mengurangi penyebaran penyakit.
Di banyak
negara penghapusan tunas jantan merupakan
praktek budaya yang diterapkan dalam pengelolaan pendirian tanaman pisang, terutama di perkebunan
komersial. Namun, hal ini tidak dilakukan secara luas oleh petani kecil yang
mendominasi di Afrika Timur.
4. Dampak
terhadap masyarakat sekitar
Dampak ekonomi terhadap harga pisang
masak Uganda yang cukup tinggi pada saat ini, sehingga petani, terutama di
daerah-daerah penghasil terpengaruh tinggi Uganda barat tidak memiliki insentif
untuk mengadopsi langkah-langkah pengendalian karena mereka mendapatkan
keuntungan dari harga yang lebih tinggi. Solusi untuk dilema ini adalah
penyediaan barang publik, langkah-langkah khusus yang dibiayai publik untuk
mencegah penyebaran penyakit. Pada saat yang sama, langkah-langkah ini harus
sesuai dengan pasar, yaitu, tidak mempengaruhi harga pasar dan
kuantitas
(Biruma et al., 2007).
Petani enggan untuk menghancurkan 'Pisang
Awak' dan kultivar ABB lainnya
seperti 'Bluggoe' bahkan jika tanaman terinfeksi. Sulit untuk membujuk para
petani untuk menghancurkan akar yang sakit karena kadang-kadang akar yang sakit mungkin masih menghasilkan sekelompok
pisang yang normal. Banyak
petani juga memperoleh pendapatan tunai dari penjualan daun 'Pisang
Awak' sebagai media dalam persiapan makanan. Daun 'Pisang Awak' menghasilkan lamina besar yang tidak robek dengan mudah
oleh angin. Oleh karena itu petani cenderung untuk melestarikan berdiri tanaman
ini bahkan jika mereka terinfeksi Xvm (Biruma et al., 2007).
5. Penelitian
arah masa depan
Sebagian besar penelitian tentang Xanthomonas layu telah
difokuskan pada skrining plasma nutfah. Perkembangan penyakit kultivar pisang
tahan tetap menjadi prioritas tinggi karena petani enggan menggunakan
langkah-langkah pengendalian penyakit padat karya. Selain itu, penentuan
struktur populasi patogen dari wilayah geografis yang lebih luas diperlukan dalam
rangka untuk mengembangkan database pada isolat Xvm dan akibatnya menentukan strategi terbaik untuk
penyebaran resistensi dan atau untuk memasukkan gen ketahanan yang tidak cocok
untuk patogen yang ada. Penggunaan bioteknologi
pendekatan mungkin salah satu strategi terbaik dalam
mengelola penyakit ini (Biruma et al., 2007).
Pengenalan
bakteri antagonis ke akar dapat membawa pengendalian biologis dengan
memproduksi metabolit yang secara langsung menghambat patogen, seperti
antibiotik dan hidrogen
sianida. Baru-baru ini menunjukkan bahwa sebelas strain bakteri (Pseudomonas
putida 2, 3 dari Pseudomonas fluorescens, 4 dari Burkholderia cepacia dan 2
dari Burkholderia glathei) mengurangi kejadian layu pada tomat dengan 80-100% (Priou et al., 2006 dalam Biruma et al., 2007).
III.
KESIMPULAN
Xanthomonas layu pisang adalah penyakit yang relatif baru sehingga
harus banyak dilakukan kajian supaya
dapat dikendalikan. Penyakit layu bakteri tidak terjadi hanya
khusus untuk pisang tetapi telah
dilaporkan di 44 keluarga tanaman termasuk spesies ekonomis penting dalam
keluarga Solanaceae, Leguminosae, dan Zingerberaceae. Tanaman yang terinfeksi dapat
disebabkan oleh serangga
melalui perbungaan (meskipun organisme lain seperti burung
dan kelelawar juga mungkin
terlibat),
dengan tanah
melalui inokulum bakteri dan melalui alat-alat pertanian yang
telah terkontaminasi. Meskipun
tidak ada kultivar pisang yang benar-benar tahan terhadap penyakit ini, melainkan
beberapa kultivar tertentu
memiliki mekanisme untuk 'melarikan diri' dari penyakit. Pengelolaan dan pengendalian penyakit dengan penghapusan tunas jantan telah terbukti sangat efektif dalam mencegah kejadian
penyakit sejak tunas jantan diduga menjadi situs infeksi primer. Dampak ekonomi dari pisang
Xanthomonas layu belum sepenuhnya dipahami namun dampaknya terhadap ketahanan
pangan di wilayah Uganda sangat signifikan. Menurut Nasir et al., (2005) tahun 1996-2001 kerugian
ekonomis mencapai Rp 80 milyar akibar serangan patogen penyebab penyakit layu
pisang dan penyakit darah pisang.
Beberapa penelitian tentang Xanthomonas layu pisang telah dikaji,
termasuk harapan terbesar dengan skrining
untuk sumber resistensi antar pisang, varietas telah menjadi prioritas, dan penekanan harus ditempatkan pada sumber perlawanan dari
pisang liar. Dalam plasma nutfah percobaan skrining ditemukan bahwa varietas berbeda-beda berkaitan dengan struktur
perbungaan mampu menanggulangi kejadian intensitas Xanthomonas layu pisang. Kemudian memahami mekanisme resistensi terhadap Xanthomonas layu
harus tetap menjadi prioritas tinggi penelitian.
DAFTAR
PUSTAKA
Biruma et al.,
2007. Banana Xanthomonas wilt: a review of the disease, management
strategies and future research directions. African Journal of Biotechnology Vol. 6 (8): 953-962.
Hadiwiyono 2010.
Insidens penyakit layu bakteri darah dan layu fusarium pisang di sambungmacan
sragen dan tawangmangu Karanganyar. J.
Agrosains 12(1):19-23.
Kartikawati Noor
Khomsah 2012. Polinator pada tanaman kayu putih. Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan: Yogyakarta.
Nasir N,
Jumjunidang, Riska 2005. Distribusi Penyakit Layu Fusarium dan Layu Bakteri
Ralstonia pada Lokasi Sumber Bibit dan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
Pisang di Sumatera Barat. J.Hort
15(3):215-222.
Sihombing Andi
Andrean 2013. Peranan serangga bagi manusia dan lingkungan. Makalah:
Universitas Negeri Medan. Diakses http://andi-personalblog.blogspot.com
pada 1 Maret 2015.
Smith
JJ, DR Jones, E Karamura, G Blomme and FL Turyagyenda 2008. An analysis of the risk from Xanthomonas campestris pv. musacearum
to banana cultivation in Eastern, Central and Southern Africa. Bioversity International.
Komentar
Posting Komentar