Makalah
Masalah Perkebunan di Indonesia
Disusun
Oleh:
Marshelina Noor Indah Delfianti H071212
Mochamad
Iqbal W H0712125
Muhammad
Arifin H0712128
Nining
Rahayu H0712138
Novita
Chrisna Wardani H0712141
Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pertanian
Program Studi Agroteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta
A. Masalah-masalah yang Dihadapi Perkebunan-perkebunan di Indonesia
Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan nasional dan global. Perubahan strategis nasional dan global tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan perkebunan. Pembangunan perkebunan harus mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi perkebunan selain mampu menjawab tantangan-tantangan globalisasi. Masalah-masalah yang dihadapi perkebunan tersebut antara lain:
1. Masalah yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dan nasional
Orientasi
kebijakan perkebunan sejauh ini membedakan secara tajam antara perkebunan besar
(BUMN dan swasta) dengan perkebunan rakyat. Implikasi kebijakan dualistik ini
telah memberi kemudahan bagi yang “besar” dan tekanan bagi yang “kecil”, dengan
gambaran sebagai berikut :
1)
Perkebunan Indonesia masih diliputi
oleh dualisme ekonomi, yaitu antara perkebunan besar yang menggunakan modal dan
teknologi secara intensif dan menggunakan lahan secara ekstensif serta
manajemen eksploitatif terhadap SDA dan SDM, dan perkebunan rakyat yang
susbsisten dan tradisional serta luas lahan terbatas. Kedua sistem ini
menguasai bagian tertentu dari masyarakat dan keduanya hidup berdampingan.
Perbedaan keduanya tidak jarang menimbulkan konflik ekonomi yang berkembang
menjadi konflik sosial.
2)
Perkebunan Rakyat (PR) yang luasnya
sekitar 80% dari perkebunan nasional masih belum mendapatkan fasilitas dan
perlindungan yang memadai dari pemerintah. Masalah ini menjadi penting antara
lain karena jumlah KK yang tergantung pada perkebunan rakyat sekitar 15 juta.
3)
Hak menguasai oleh negara atas tanah
yang kemudian diberikan kepada badan hukum sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha
perkebunan sangat dominan, sementara itu ketidak-pastian hak masyarakat (lokal
dan adat) atas sumberdaya lahan untuk perkebunan belum kunjung diselesaikan.
4)
Masuknya pemodal besar ke usaha
perkebunan masih belum memberikan kontribusi pada kesejahteraan rakyat
setempat. Hingga saat ini masih belum ada re-distribusi aset dan manfaat yang
adil (proporsional) kepada masyarakat dari usaha perkebunan.
5)
Kebijakan pengembangan perkebunan
lebih berpihak pada perkebunan besar yang ditunjukkan oleh alokasi pemanfaatan
kredit, dukungan penelitian dan pengembangan, serta pelatihan sumberdaya
manusia.
6)
Pengembangan perkebunan besar lebih
dilandasi pada pembukaan lahan hutan dalam skala besar yang dilakukan dengan
mengabaikan hak-hak masyarakat di dalamnya. Pada beberapa daerah kondisi
demikian ini telah menimbulkan konflik sosial serta dampak negatif terhadap
lingkungan.
7)
Organisasi-organisasi usaha
perkebunan yang menghimpun diri dalam asosiasi pengusaha perkebunan bersifat
eksklusif dan powerful dengan tingkat kepedulian terhadap pemberdayaan
organisasi-organisasi petani/pekebun rendah.
2.
Masalah Manajemen Pengelolaan Perkebunan
Kebijakan
pengembangan perkebunan yang ekstentif, sejauh ini telah mengesampingkan
produktivitas, efisiensi, dan product development . Dengan berbagai
upaya pembangunan, secara umum beberapa komoditas mengalami kenaikan
produktivitas, namun secara umum produktivitas komoditas perkebunan masih
rendah dan masih dapat ditingkatkan. Masih rendahnya produktivitas komoditas
perkebunan tersebut merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan kedepan.
Produktivitas
perkebunan nasional masih tertinggal dari perkebunan negara tetangga, khususnya
Malaysia dan Thailand . Produktivitas kelapa sawit misalnya di Malaysia
rata-rata berkisar antara 18 – 21 ton Tandan Buah Segar (TBS)/ha/tahun.
Sementara produktivitas kelapa sawit di Indonesia baru berkisar 14 – 16 ton/ha/tahun.
Produktivitas rata-rata karet di Thailand mencapai 1 – 2 ton/ha, sementara di
Indonesia berkisar antara 0,6 – 1 ton/ha.
3.
Masalah Pemasaran dan Ekonomi
Pada pasar
primer, yaitu pasar hasil perkebunan dari Perkebunan Rakyat, pekebun yang berjumlah
ribuan dan terpencar berhadapan dengan beberapa pedagang (desa sampai
kabupaten) dan karena sifat produk perkebunan yang harus diolah berhadapan
dengan “kelompok” industri pengolahan primer. Struktur pasar yang berkembang
cenderung kearah struktur pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan PR,
seperti di daerah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar
oligopsoni justru terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana
pekebun berhadapan langsung dengan industri pengolahan.
Produk
perkebunan merupakan produk yang diperdagangkan secara internasional sehingga
mekanisme pasar terjadi di pasar internasional. Dengan keterbatasan aksesnya,
pekebun pada PR tidak mendapatkan informasi pasar secara efektif. Informasi
pasar (harga, mutu, jumlah yang dibutuhkan, dan lain-lain) yang diperoleh
secara efektif berasal dari pedagang atau industri pengolahan. Akibatnya,
pekebun memperoleh informasi pasar yang bersifat tidak simetris.
Secara
nasional perkembangan pangsa pasar beberapa produk perkebunan utama menunjukkan
adanya kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu, tergeser oleh beberapa
negara pesaing, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, India dan Sri Lanka. Hal
ini mengindikasikan daya saing industri dan produk perkebunan Indonesia masih
sangat lemah. Perekonomian perkebunan juga masih didominasi oleh produk primer
perkebunan. Padahal, potensi untuk mengembangkan industri hilir perkebunan
masih terbuka dan pasar produk hilir perkebunan lebih prospektif. Malaysia
merupakan salah satu contoh negara produsen produk perkebunan, baik primer
maupun hilir.
4.
Masalah Sosiokultural (Sosial
Budaya)
Krisis
multidimensi memicu terjadinya konflik sosial di daerah perkebunan. Masalah
konflik sosial ini terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1) Pasar lahan
tidak dapat mengalokasikan lahan secara efisien dan adil. Hal ini terjadi
terutama dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk serta kebijakan
pengalokasian lahan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Pada saat ini kepemilikan lahan perkebunan rakyat rata-rata adalah 0,92
ha/petani, sementara pada perkebunan besar mengelola lahan rata-rata 1.947
ha/unit usaha.
2) Tatanan dan
kebijakan di bidang agraria tidak kompatibel dengan perkembangan dan kondisi
sosial masyarakat.
3) Sistim
administrasi pertanahan belum tertib, terutama dengan terjadinya duplikasi
pemilikan atau penguasaan lahan.
4) Lahan yang
tersedia belum dimanfaatkan secara efisien dan produktif. Untuk lahan HGU
perkebunan besar sekitar 4,6 juta ha,saat ini baru termanfaatkan untuk tanaman,
bangunan dan emplasemen sekitar 60%.
5) Kepastian
hukum masyarakat terhadap lahan belum terjamin.
6) Makin
kompetitifnya alternatif penggunaan lahan. Hal ini terutama kompetisi dengan
peruntukkan pemukiman maupun dengan industri.
7) Masih
terdapat lahan perkebunan rakyat yang berada pada kawasan hutan dan telah
berlangsung cukup lama dari generasi ke generasi.
8) Pemilikan
lahan masih berfungsi sebagai komoditas perdagangan (belum melihat lahan dari
azas manfaat).
9) Penyediaan
fasilitas pembiayaan untuk perkebunan besar swasta nasional yang mencakup 2
juta ha dibiayai dari dana kredit sebanyak 1,6 juta ha (80%), sedangkan pada
perkebunan rakyat, dari 11,2 juta ha yang ada, yang dibiayai dengan kredit
hanya sebanyak 2 juta ha (18%). Angka tersebut menunjukan masih rendahnya
perhatian lembaga keuangan terhadap pembangunan perkebunan rakyat, sebagaimana
telah digambarkan memiliki potensi sangat besar.
5.
Masalah Lingkungan
Metode
paling efisien dalam kegiatan pembukaan lahan perkebunan adalah pembakaran.
Namun dampak lingkungan yang ditimbulkannya sangat merugikan. Sampai saat ini,
pembakaran dalam kegiatan pembukaan lahan masih dijalankan, baik di perkebunan
rakyat maupun perkebunan besar. UU tentang pengelolaan lingkungan hidup masih
memberi toleransi adanya pembakaran terkendali untuk perkebunan rakyat dan
pelarangan untuk perkebunan besar.
Limbah
padat, cair dan gas masih menjadi masalah penting di perkebunan, baik di level on
farm maupun di pabrik. Masalah ini timbul dalam batas tertentu karena belum
adanya teknologi penanganan limbah, mahalnya investasi industri pemanfaatan
limbah perkebunan dan rendahnya kesadaran penanganan limbah dan lemahnya
penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan limbah.
Masalah lingkungan ini kebanyakan terjadi pada perkebunan kelapa sawit.
Sebagian besar perkebunan sawit muncul dengan
mengkonversi hutan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi
menjadi hamparan perkebunan monokultur. Dalam pengelolaannya, penggunaan bahan
kimia intensif, salah satunya herbisida kerap digunakan dan menjadi salah satu
faktor perusak lingkungan yang signifikan.
Akibatnya
berbagai spesies tanaman dan hewan yang bergantung hidupnya pada hutan terancam
keberadaannya. Konflik terbuka antara manusia dengan berbagai hewan seperti
dengan gajah dan harimau tidak dapat dihindari, seperti yang kerap terjadi di
Sumatera. Sementara, sebagian hewan lainnya, semisal orang utan di Kalimantan
semakin sulit mendapatkan makanan. Luas hutan yang menyempit akibat perluasan
kebun sawit tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan beragam spesies liar yang
hidup di hutan.
Sementara
proses pembersihan lahan untuk perkebunan sawit dilakukan dengan cara membakar,
menimbulkan masalah kabut asap yang sejak era 90-an hampir setiap tahun
mencemari sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan bahkan menyebar hingga ke
negeri tetangga. Bukan hanya nafas yang semakin sesak akibat inffeksi saluran
nafas dan masalah kesehatan lainnya yang muncul tetapi juga besarnya kerugian
ekonomi yang ditimbulkannya.
Di sisi
sosial, kehidupan masyarakat adat yang sangat bergantung dengan hutan menjadi
terancam. Hak dan kepentingan mereka kerap dilanggar oleh para pelaku industri
perkebunan sawit yang melanggar batas-batas tanah adat dan menerapkan praktek
yang tidak selaras dengan nilai-nilai masyarakat adat. Konflik pun tidak
terhindarkan.
6.
Masalah Iptek
Apresiasi
dan perhatian terhadap hasil Iptek masih rendah. Manajemen feodalistik
perkebunan besar menganggap penggunaan dana untuk kebutuhan Iptek sebagai
pemborosan. Iptek dianggap belum menjadi bagian integral dari pengembangan
usaha perkebunan. Penyediaan dana penelitian dan pengembangan perkebunan masih
mengandalkan pemerintah dan sebagian kecil dari BUMN.
Dengan
keterbatasannya, lembaga penelitian perkebunan hingga saat ini belum berhasil
melakukan transfer teknologi, terutama ke perkebunan rakyat secara efektif.
Transfer teknologi masih terbatas pada daerah-daerah pengembangan perkebunan
rakyat.
7.
Masalah SDM
Permasalahan
perkebunan lainnya terkait dengan masalah kualitas sumber daya manusia
perkebunan, baik dari kalangan petani, pengusaha maupun aparat pemerintah.
Sampai saat ini masih dijumpai berbagai permasalahan sebagai berikut:
1.
Mentalitas yang hidup dan berkembang
di masyarakat belum mendukung berkembangnya nilai-nilai yang dibutuhkan untuk
kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh, pada
sebagian masyarakat masih sangat tergantung kepada proyek-proyek pemerintah.
2.
Daya asimilasi dan absorbsi terhadap
teknologi masih lemah. Hal ini terlihat dengan masih terbatasnya (sekitar 20%)
dari masyarakat petani yang menggunakan klon unggul dalam usaha kebunnya.
3.
Kemampuan teknis, wira usaha dan
manajemen masih rendah. Dengan kondisi ini, petani ataupun kelembagaan ekonomi
petani belum mampu memanfaatkan peluang bisnis yang ada di lingkungannya.
4.
Kemampuan lobby yang masih rendah.
Kemampuan lobby ini dibutuhkan untuk dapat memperluas peluang usaha, baik
petani mapun dunia usaha.
8.
Masalah Kelembagaan
Permasalahan
perkebunan juga terkait dengan masalah kelembagaan. Kelembagaan yang ada masih
belum mampu mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat, sekaligus mempertangguh
struktur komoditas dan efisiensi dari seluruh rangkaian kegiatan. Penumbuhan
kelembagaan petani dan pengembangan kemitraan usaha antara petani dengan
pengusaha atau perkebunan besar masih menghadapi beberapa kendala sebagai
berikut :
1. Terjadinya
ekonomi dualistik antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar, maupun
antara hulu dan hilir yang sering menimbulkan konflik.
2. Terjadinya
praktek-praktek kegiatan monopoli, oligopoli, dan monopsoni spasial terutama di
kegiatan hilir yang menyebabkan inefisiensi usaha.
3. Kelembagaan
petani masih lemah, baik dari aspek sosial maupun ekonomi. Lemahnya kelembagaan
ini kemungkinan karena terjadinya intervensi yang berlebihan dari pemerintah,
terutama dengan pembentukan KUD-KUD yang justru banyak merusak tatanan
kelembagaan masyarakat.
4. Kelembagaan
permodalan dan investasi kurang mendukung. Dalam kondisi perekonomian seperti
saat ini, maka diperlukan lembaga keuangan alternatif yang dapat dimanfaatkan
untuk mempercepat pengembangan hutan dan kebun.
5. Kelembagaan
yang menjamin keberpihakan kepada petani masih lemah. Hal ini terjadi
kemungkinan karena anggapan bahwa petani tidak mampu untuk mengembangkan
usahanya secara ekonomis.
6. Kelembagaan
pendidikan perkebunan masih kurang. Lembaga pendidikan yang khusus menangani
perkebunan yang ada saat ini masih sangat terbatas, padahal lokasi pengembangan
perkebunan sebagian besar di luar Jawa.
7. Kelembagaan
pemasaran masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya pasar
komoditas perkebunan. Pasar ekspor komoditas perkebunan selama ini
terkonsentrasi pada negara pengimpor tradisionil, sedangkan untuk pasar baru
masih terbatas.
8. Kelembagaan
Iptek belum optimal, terutama kemampuan kelembagaan Iptek yang benar-benar
mampu menghasilkan Iptek yang dibutuhkan oleh dunia usaha.
9. Kelembagaan
informasi belum berkembang, baik informasi di bidang iptek maupun pemasaran.
10. Kelembagaan
pertanahan masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya
kasus-kasus lahan yang sering menimbulkan konflik.
Bagi
Indonesia, sawit adalah salah satu sumber pendapatan utama. Dari sekitar 11
juta hektar perkebunan sawit di seluruh dunia, lebih dari 6 juta hektar
terdapat di Indonesia. Sayangnya, untuk mencapai luas 6 juta, dipercaya, hutan
tropis yang dibuka dan ditebang luasnya jauh lebih besar dari angka tersebut.
Perluasan perkebunan sawit, diakui telah menimbulkan masalah lingkungan dan
sosial yang parah.
B.
Usulan
Penyelesaian Masalah Perkebunan:
Penyelesaian masalah dan konflik yang
terjadi di perkebunan meliputi tahap pencegahan dan penyelesaian. Selain itu,
kerangka kebijakan dan aksi untuk penyelesaian konflik perlu memperhatikan
durasi kerja jangka pendek maupun jangka panjang.
1. Perbaikan peraturan, kebijakan dan perizinan
- Pelaksanaan TAP MPR No. IX/MPR/2001 oleh Pemerintah dan DPR;
- Revisi PP 40/1996 terkait dengan syarat perpanjangan HGU agar memasukkan prasyarat konsultasi pada masyarakat;
- Moratorium izin usaha perkebunan dan izin lokasi;
- Moratorium pemberian HGU baru dan perpanjangan HGU lama;
- Pembentukan peraturan/ketentuan terkait batas maksimum HGU oleh perusahaan dan kelompok perusahaan;
- Evaluasi terhadap kebijakan reforma agraria BPN;
- Percepatan pembentukan dasar hukum yang kuat bagi Reforma Agraria (pengesahan RPP Reforma Agraria secepatnya);
- Revisi peraturan tentang hak masyarakat hukum adat (Permen Agraria No. 5/1999 terutama terkait dengan kejelasan objek tanah ulayat);
- Persyaratan prioritas penyelesaian konflik melalui mekanisme ADR.
2. Kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik
- Evaluasi terhadap kinerja dan kemampuan Kedeputian V BPN dalam percepatan penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan;
- Pembentukan komite independen penyelesaian konflik agraria oleh Presiden atau pembentukan Peradilan Agraria.
- Pembentukan unit pengaduan dan penanganan konflik di instansi terkait.
- Pembentukan Menteri Koordinator Sumber Daya Agraria/Sumber Daya Alam.
- Kebijakan pemerintah daerah untuk mediasi konflik tanah.
- Membentuk dewan/komite land reform.
3.
Penguatan dan pemberdayaan petani dan masyarakat adat
- Penguatan organisasi tani dan masyarakat adat;
- Perluasan jaringan organisasi tani dan masyarakat adat;
- Konsolidasi gerakan tani dan masyarakat adat untuk menghadapi konflik perkebunan;
- Pendampingan hukum dan ekonomi bagi petani dan masyarakat adat.
4. Penguatan jaringan
kelompok masyarakat sipil (LSM, akademisi)
Pembentukan/penguatan jejaring LSM dan akademisi agraria di tingkat lokal dan nasional.
Pembentukan/penguatan jejaring LSM dan akademisi agraria di tingkat lokal dan nasional.
5. Upaya-upaya lain untuk pencegahan konflik:
- Pengamanan fisik terhadap tanah perkebunan dengan cara menciptakan batas areal perkebunan yang jelas.
- Perlindungan bagi pemegang sertipikat yang diperoleh dengan proses yang benar.
6. Usulan Tindak Lanjut
- Mengembangkan suatu konsepsi Konstitusi Agraria dan Kerangka Umum Reforma Agraria yang siap dipromosikan oleh ahli-ahli Agraria untuk dipergunakan sebagai rujukan bagi
- pembuatan kebijakan dalam rangka pemerintahan baru 2014;
- pengajaran, kursus-kursus, latihan-latihan, seminar dan lokakarya;
- kegiatan-kegiatan gerakan sosial;
- studi-studi lanjutan;
- Membuat jaringan antar simpul-simpul pelaku studi agraria yang beragam fokus tematik maupun geografis, termasuk untuk para pengajar mata kuliah agraria di perguruan tinggi, pestudi agraria di badan-badan penbelitian pemerintah, dan organisasi gerakan sosial;
- Menggunakan Mahkamah Konstitusi dan MPR sebagai tempat berangkat sekaligus muara dari upaya pengembangan Konstitusi Agraria, dan Kerangka Umum Reforma Agraria;
- Menyediakan forum-forum kajian kebijakan yang mempertemukan pejabat pemerintah, ahli-ahli agraria, dan rangkaian pelaku-pelaku;
Daftar
Pustaka
Anonim. 2012. Hasil Seminar dan Lokakarya Nasional Konflik Agraria “Konflik Perkebunan: Mencari Solusi yang Berkeadilan dan Mensejahterakan Rakyat Kecil”.http://pphafh.ub.ac.id/hasil-seminar-dan-lokakarya-nasional-konflik-agraria-konflik-perkebunan-mencari-solusi-yang-berkeadilan-dan- mensejahterakan-rakyat-kecil/. Diakses pada 10 Desember 2012 pukul 12.23 WIB.
Drajad, Bambang. 2004. Dinamika Lingkungan Nasional dan Global Perkebunan : Implikasi Strategis bagi Pembangunan Perkebunan. http://www.ipard.com/art_perkebun/0040804DD.asp. Diakses pada 10 desember 2012 pukul 12. 31 WIB
Fitrian
Ardiansyah. 2006. Mengawal Perkebunan
Sawit agar Lestari. http://www.wwf.or.id/?3720/Mengawal-Perkebunan-Sawit-agar-Lestari.
Diakses pada 10 Desember 2012 pukul
11.24 WIB
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSudah berkali-kali saya mencari tempat yang menyediakan pesugihan,mungkin lebih dari 15 kali saya mencari paranormal mulai dari daerah jawa garut,sukabumi, cirebon, semarang, hingga pernah sampai ke bali ,namun tidak satupun berhasil, niat mendapat uang dengan jalan pintas namun yang ada malah kehabisan uang hingga puluhan juta, suatu hari saya sedang iseng buka-buka internet dan menemukan website dari KI SULTAN AGUNG sebenarnya saya ragu-ragu jangan sampai sama dengan yang lainnya tidak ada hasil juga, saya coba konsultasikan dan bertanya meminta petunjuk pesugihan apa yang bagus dan cepat untuk saya, nasehatnya pada saya hanya disuruh yakin dan melaksanakan apa yang di sampaikan KI SULTAN AGUNG, semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari alhamdulilah akhirnya KI SULTAN AGUNG membantu saya pesugihan dana gaib 5M yang saya tunggu-tunggu tidak mengecewakan, yang di janjikan cair keesokan harinya, kini saya sudah melunasi hutang-hutang saya dan saat ini saya sudah memiliki usaha sendiri di JOGJA, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi KI SULTAN AGUNG di 085242892678 atau kunjungi websitenya agar lebih di mengerti www.rajauanggaib.com tidak lansung datang ke jawa juga bisa, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. alhamdulillah hasilnya sama baik
BalasHapus