|
STERILISASI ALAT, PEMBUATAN LARUTAN STOK DAN PEMBUATAN
MEDIA
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Kultur jaringan tanaman adalah suatu
metode atau teknik mengisolasi bagian tanaman (protplasma, sel, jaringan, dan
organ) dan menumbuhkannya pada media buatan dalam kondisi aseptik di dalam
ruang yang terkontrol sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman lengkap. Kultur jaringan mengandung dua prinsip
yaitu bahan tanam yang bersifat totipotensi dan budidaya yang terkendali.
Penggunaan bahan totipotensi saja tidak cukup mendukung keberhasilan kegiatan
dalam kultur jaringan, keadaan media tanam, lingkungan tumbuh (kelembaban,
temperatur dan cahaya) serta sterilitas mutlak harus terjamin.
2.
Tujuan
Tujuan dari praktikum sterilisasi
alat, pembuatan larutan stok dan pembuatan media ini adalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui
metode dan macam sterilisasi dalam kultur jaringan yang meliputi sterilisasi
alat, ruang dan eksplan
b.
Mengetahui prosedur
sterilisasi alat-alat penanaman (diseksi) dan alat kaca seperti botol ukur,
petridish, erlenmeyer dan lain-lain.
c.
Mengetahui
langkah-langkah dalam pembuatan media kultur jaringan terutama dalam pembuatan
larutan stok makro nutrient, larutan buffer (Fe-EDTA), vitamin dan Zat Pengatur
Tumbuh (ZPT).
3.
Waktu dan Tempat
Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari Kamis,
tanggal 13 Maret 2014, pukl 13.20 – 14.30, di Laboratorium Bioteknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
B. Tinjauan
Pustaka
Sterilisasi merupakan suatu proses atau kegiatan membebaskan
suatu bahan atau benda dari semua mikroorganisme (Yunus et al., 2010).
Sterilisasi penting dilakukan untuk mencegah kontaminasi yang akan membawa
kegagalan bagi keberhasilan kultur jaringan. Prosedur sterilisasi perlu
dilakukan pada lingkungan kerja, sterilisasi alat dan media dan sterilisasi
bahan tanam. Macam-macam sterilisasi
dapat dilakukan dengan tiga cara yang dapat dipakai sesuai kebutuhan. Pertama,
sterilisasi secara mekanik (filtrasi) dengan cara penyaringan untuk
mensterilisasikan cairan yang mudah rusak jika terkena panas atau mudah
menguap, misalnya pada larutan enzim, hormon, dan antibiotik. Sterilisasi ini
menggunakan suatu saringan berpori sangat kecil (0,2 atau 0,45 mikron) sehingga
mikroba tertahan pada saringan tersebut. Kedua sterilisasi secara fisik melalui
pemanasan dan penyinaran, dan ketiga sterilisasi secara kimiawi dengan senyawa
desinfektan contohnya alkohol (Yunus et al., 2010).
Media yang digunakan dalam kultur jaringan sebaiknya terdiri
atas garam-garam anorganik (paling sedikit membutuhkan 16 unsur hara untuk
pertumbuhan). Zat-zat organik, walaupun tanaman yang tumbuh dalam kondisi
normal bisa mensintesa semua kebutuhan organiknya, namun tidak menghasilkan
vitamin dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan sehat, maka biasa diberi
tambahan mio inositol, asam amino, dan vitamin, bila perlu ditambahkan air
kelapa, ragi, tauge, dan lain-lain. Sumber karbon, untuk mencukupi kebutuhan
sintesis karbonnya, biasa diberikan sukrosa ke dalam media. Bahan pemadat,
biasanya menggunakan agar supaya media tetap stabil tidak goayang-goyang.
Keasaman media, pH media diatur berkisar 5,6 -5,8 agar tidak mengganggu fungsi
membran sel dan pH sitoplasma. Zat pengatur tumbuh, kepekaan jaringan terhadap
penambahan zpt ditentukan oleh konsentrasi hormon yang ada dalam jaringan.
Aquadest dan arang aktif, arang aktif berguna mengadsorpsi persenyawaan toxic
yang terdapat dalam media yang dapat menghambat pertumbuhan kultur. Buffer,
penambahan asam amino yang biasa digunakan FeSO4 dan Na-EDTA (Yunus et
al., 2010).
Larutan stok adalah larutan dengan konsentrasi lebih pekat
dibandingkan dengan konsentrasi yang seharusnya. Jika ingin memakainya, tinggal
mengambil larutan stok tersebut untuk diencerkan sesuai formula media kultur.
Semua unsur hara, vitamin, hormon dan gula lalu ditambahkan air sampai satu
liter dan diaduk sampai semua bahan larut. Secara umum, hormon yang digunakan
dalam kultur jaringan ada tiga kelompok besar, yaitu auksin, sotokinin dan
giberil.Auksin berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar, siitokinin untuk
pertumbuhan tunas pucuk, dan giberelin untuk diferensiasi atau perubahan fungsi
sel terutama pembentukan kalus. Contoh hormon kelompok auksin adalah IA, NAA,
atau IBA. Contoh hormon kelompok sitokinin adalah BAP. sedangkan contoh hormon
kelompok giberelin adalah GA 3, GA 2 dan GA 1 (Sandra 2000). Gibberellic Acid (GA) terdapat dalam
semua organ tanaman, dengan tingkat yang berbeda-beda, terdapat banyak pada
buah, biji, tunas, daun muda dan akar (Rahayu 2005)
Perlakuan dengan penyimpanan in vitro media yang digunakan
umumnya media dasar Murashige dan Skoog
yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi tertentu sesuai
dengan hasil penelitian. Namun adakalanya media tanaman diganti karena respon
tanaman yang telah berkurang pada media tersebut yang terlihat pada penampilan
tanaman di mana tunas menjadi menjadi pendek/roset dan layu, daun menguning,
ataupun gugur daun (Bermawie dan Natalini 2003).
C. Alat, Bahan
dan Cara Kerja
1.
Alat
a.
Peralatan untuk
sterilisasi alat
b.
Peralatan untuk
membuat larutan stok
c.
Peralatan untuk
pembuatan media
2.
Bahan
a.
Media Murashige dan Skoog (MS Medium)
b. Aquadest
c.
Larutan Stok,
terdiri atas hara makro, hara mikro, vitamin dan ZPT
d.
Agar-agar
e.
Gula
f.
NaOH 1 N dan HCL
1 N
3.
Cara Kerja
a.
Sterilisasi alat
1)
Membuang media
dalam botol kultur jaringan kemudian mencucinya dengan sabun cuci.
2)
Meletakkannya
dengan posisi telungkup dia atas koran dan membiarkannya/dikering anginkan
selama sehari.
3)
Menaruh
botol-botol kultur jaringan dalam kardus.
b.
Pembuatan
larutan stok
langkah-langkah
pembuatan larutan stok, meliputi:
1)
Larutan stok
media
a)
Menimbang
bahan-bahan kimia yang telah dikalikan menjadi beberapa kali konsentrasi,
misalnya untuk unsur hara makro dikalikan 20 dan unsur hara mikro dikalikan 100
kali konsentrasi.
b)
Melarutkan
bahan-bahan kimia tersebut ke dalam aquadest dengan volume tertentu, misalnya
500 ml.
c)
Memasukkan
masing-masing larutan ke dalam botol dan menyimpannya ke dalam refrigator.
2)
Larutan stok zat
pengatur tumbuh
a)
Menghitung
kebutuhan bahan BAP 100 ppm sebanyak 300 ml adalah sebagai berikut:
100 ppm = 100 mg/l
= 30 mg/0,3 l
= 30 mg/300 ml
b)
Menghitung
kebutuhan IBA 100 ppm sebanyak 100 ml adalah sebagai berikut:
100 ppm = 100 mg/l
= 100 mg/ 0,1 l
= 10 mg/100 ml
c)
Melarutkan bahan
dengan alkohol atau NaOH 1 N kemudian di tambah dengan aquadest sampai 300 ml
untuk BAP dan 100 ml untuk IBA.
d)
Memasukan
masing-masing larutan tersebut ke dalam botol dan menyimpannya ke dalam
refigerator.
c.
Pembuatan media
1)
Mengambil
masing-masing larutan stok sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan
memasukkannya ke dalam gelas piala.
2)
Mengambil
larutan stok ZPTsesuai dengan perlakuan, misalnya:
a)
Untuk membuat
media 2 L dengan konsentrasi BAP 24 ppm, maka volume larutan stok yang diambil
adalah:
V1 X M1 = V2 X M2
V1 X 100 ppm = 2000 ml x 4
ppm
V1 = 40 ml/L
b)
Untuk membuat
media 2 L dengan konsentrasi IAA 1 ppm, maka volume larutan stok yang diambil
adalah:
V1 X M1 = V2 X M2
V1 X 100 ppm = 2000 ml x 1 ppm
V1 = 10 ml/L
Ket. : V1 = volume larutan
stok yang diambil
M1 = dosis larutan stok yang
tersedia
V2 = volume media yang akan
dibuat
M2 = dosis media yang akan
dibuat
3)
Menambah
aquadest sampai 2000 ml.
4)
Menambah gula
sebanyak 60 gr.
5)
Mengatur pH
dalam kisaran 5,8-6,3 dengan menambahkan beberapa tes NaOH untuk menaikkan pH
atau HCL untuk menurunkan pH. Pada saat pengukuran pH, larutan media diaduk
dengan magnetik stirer.
6)
Menambahkan
agar-agar 16 gr kemudian didihkan.
7)
Menuangkan
larutan media ke dalam boto-botol kultur sampai batas bawah yang terdapat pada
bagian bawah botol.
8)
Menutup botol
berisi larutan media dengan plastik kemudian memasukkannya ke dalam autoklaf
untuk proses sterilisasi pada tekanan 1,5 kg/cm2 selama 45 menit.
9)
Menyimpan media
pada rak penyimpan media yang bertujuan untuk mengantisipasi ada tidaknya
kontaminasi pada media sehinga dapat dicegah penggunaan media yang telah
terkontaminasi pada saat penanaman.
d.
Media Penanaman
Dalam praktikum ini, media yang digunakan adalah media
Murashige dan Skoog (MS) yang dimodifikasi dengan penambahan ZPT BAP 4 ppm dan
IA 1 ppm. Media kultur tersebut digunakan untuk penanaman 4 macam eksplan
dengan masing-masing eksplan diulang sebanyak 2 kali untuk setiap
mahasiswa/praktikan.
D. Hasil
Pengamatan dan Pembahasan
1.
Hasil Pengamatan
Tabel 1.1
Peralatan dan Bahan Acara Sterilisasi Alat, Pembuatan Larutan Stok dan
Pembuatan Media
No.
|
Gambar
|
Keterangan
|
1.
|
Gambar 1.1 Botol kultur
|
Botol-botol kultur yang sudah di bersihkan
menggunakan sabun cair kemudian dikering-anginkan selama satu hari.
|
2.
|
Gambar 1.2 Gelas ukur
|
Gelas ukur untuk menakar jumlah komponen media cair
yang dibutuhkan
|
3.
|
Gambar 1.3 Vitamin
|
Vitamin yang dibutuhkan sebesar 100 ml.
|
4.
|
Gambar 1.4 pH meter
|
Mengukur pH dengan alat pH meter sampai berkisar 5,8
– 6,3
|
5.
|
Gambar 1.5 Bubuk agar
|
Bubuk agar yang digunakan sebagai pemadat media,
dibutuhkan sebanyak 16 gr.
|
6.
|
Gambar 1.6 Mesin Autoklaf
|
Autoklaf digunakan untuk proses sterilisasi selama
45 menit.
|
7.
|
Gmabar 1.7 Gula pasir
|
Gula pasir digunakan sebanyak 60 gr.
|
8.
|
Gambar 1.8 Media MS yang siap di gunakan
|
Media yang sudah jadi dimasukkan ke dalam
botol-botol kultur kemudian ditutup dengan plastik dan di masukkan ke dalam
autoklaf untuk proses sterilisasi.
|
Sumber:
dokumentasi
2.
Pembahasan
Media Murashige
& Skoog (media MS) merupakan
perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik. Media MS
mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3- dan 29 mM N dalam
bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari
N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media
tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga
ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P 1.25 mM. Unsur makro lainnya
konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS
dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum
digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. (Hansa 2010).
Unsur-unsur
nutrisi makro anorganik dalam media MS antara lain:
a.
KNO3
b.
NH4NO3
c.
CaCl2.H2O
d.
MgSO4.7H2O
e.
KH2PO4
Sedangkan unsur-unsur nutrisi mikro
anorganik dalam media MS antara lain:
a.
MnSO4.4H2O
b.
ZnSO4.4H2O
c.
H3BO3
d.
Kl
Vitamin
yang digunakan dalam media MS hanya thiamine (vitamin B1). Komponen
ini diperlukan untuk metabolisme karbohidrat dan biosintesis dari asam amino.
Vitamin telah terbukti sebagai komponen yang penting dalam kultur jaringan
tanaman. Vitamin lain yaitu seperti vitamin C dan vitamin E hanya digunakan
jika diperlukan untuk pertumbuhan eksplan maksimum. Unsur organik dalam media
MS seperti sukrosa atau gula lain menambahkan ke dalam media untuk menyediakan
CO2.
Hormon
yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah kinetin golongan dari sitokinin.
Golongan sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting
dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Kinetin merupakan sitokinin
yang pertama ditemukan dan diisolasi oleh Skoog dalam laboratorium Botani di
University of Wisconsin. Kinetin diperoleh dari DNA ikan Herring yang
diautoklaf dalam larutan yang asam. Persenyawaan dari DNA tersebut sewaktu
ditambahkan ke dalam media untuk tembakau, ternyata merangsang pembelahan sel
dan differensiasi sel. Persenyawaan tersebut kemudian dinamakan kinetin. Fungsi
sitokinin terhadap tanaman antara lain:
a.
Memacu terbentuknya
organogenesis dan morfogenesis.
b.
Memacu terjadinya
pembelahan sel.
c.
Kombinasi antara auksin
dan sitokinin akan memacu pertumbuhan kalus.
Sebelum
media dipanaskan harus diperiksa pH nya terlebih dahulu. Media sangat baik pada
pH 5,8 jika pH kurang dari 5 media agar akan terlalu lemah, tetapi jika pH di
atas 7 media agar terlalu padat dan tidak bisa penanaman eksplan dengan baik.
Faktor penting adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain
memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan
faktor-faktor (Anonim
2009):
a.
Kelarutan dari
garam-garam penyusun media.
b.
Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan
garam-garam lain.
c.
Efisiensi pembekuan
agar.
Untuk
menghindarkan perubahan pH yang cukup besar. Murashige dan Skoog menyarankan
agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan memanaskan media di
dalam autoklaf selama beberapa menit, baru diadakan penetapan media disterilkan
dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar, media disterilkan dan kemudian
dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang diinginkan. Setelah itu media
dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah dipersiapkan di dalam Laminar
Air Flow cabinet. Keuntungan
dari pemakaian agar adalah (Anonim 2009):
a.
Agar membeku pada
temperatur ≤ 45˚C dan mencair pada temperatur 100˚C, sehingga dalam kisaran
temperatur kultur, agar akan berada dalam keadaan beku yang stabil.
b.
Tidak dicerna oleh
enzim yang dihasilkan oleh jaringan tanaman.
c.
Tidak bereaksi dengan
persenyawaan-persenyawaan penyusun media
(Auliya 2012).
Sterilisasi
dengan uap air panas bertekanan, alat ini disebut autoklaf untuk steriliasasi
ini alat dilengkapi dengan katup pengaman. Alat diisi dengan air kemudian bahan
dimasukkan. Panaskan sampai mendidih dan dari katup pengaman kelaur uap air
dengan lancara lalu ditutup. Suhu akan naik sampai 1210C dan biarkan
selama 15 menit (untuk industri pengalengan ada perhitungan tersendiri), lalu
biarkan dingin sampai tekanan normal dan klep pengaman dibuka, cara ini
akan mematikan spora dengan cara penetrasi panas ke dalam sel atau spora
sehingga lebih cepat. Cara mana yang dipilih tergantung bahan, biaya dan
ketersediaan alat, untuk bahan yang tidak tahan panas, maka cara diatas
tidak dapat dipakai (Machmud 2008).
E. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum
sterilisasi alat, pembuatan larutan stok dan pembuatan media ini adalah sebagai
berikut:
a.
Sterilisasi
merupakan suatu proses atau kegiatan membebaskan suatu bahan atau benda dari
semua mikroorganisme. Sterilisasi yang digunakan pada praktikum ini dengan
menggunakan senyawa kimia dan pemanasan uap air bertekanan (Autoklaf).
b.
Media yang
digunakan dalam kultur jaringan sebaiknya terdiri atas garam-garam anorganik,
zat organik, vitamin, hormon, bahan pemadat, sumber karbon dan zpt.
c.
Media Murashige
dan Skoog (MS Medium) adalah media yang khusus dibuat untuk pertumbuhan kalus
dalam kultur jaringan, tetapi bisa diapikasikan ke semua jenis tanaman walau
kurang spesifik.
2.
Saran
Praktikan harus lebih menerapkan
sikap aseptik selama berada didalam lab dan fokus terhadap praktikum.
|
Auliya, Aya.
2012. Pembuatan Media Kultur Jaringan
Tanaman. http://ayaauliya.wordpress.com
diakses pada 25 April 2014.
Bermawie,
Nurliani dan Natalini Nova Kristina. 2003.
Penyimpanan In Vitro Tanaman
Obat Potensial. Perkembangan Teknologi TRO Vol. XV No.1. http://fp.unud.ac.id
diakses pada 26 Maret 2014.
Hansa. 2010. Macam-Macam Formulasi Media Kultur. http://hansa07.student.ipb.ac.id diakses
pada 26 April 2014.
Machmud,
M. 2008. Teknik Penyimpanan dan
Pemeliharaan Mikroba. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor. http://anekaplanta.wordpress.com diakses pada
tanggal 25 April 2014.
Rahayu, Hesti.
2005. Hasil Kandungan Protein Kedelai (Glycine Max L. Merril) pada Berbagai Tingkat Pemberian Nitrogen dan
Giberelin. Jurnal Agrosains 7(3): 178-181. Fakultas Pertanian UNS:
Surakarta.
Sandra, Edhi.
2000. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka.
Yunus, Ahmad, Samanhudi, Amalia T Sakya, Muji Rahayu. 2010. Teknologi
Kultur Jaringan. Surakarta: UNS
Press.
|
KULTUR JARINGAN UMBI (BAWANG PUTIH, BAWANG MERAH, UMBI JALAR, KENTANG)
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Penduduk Indonesia pada umumnya
gemar mengonsumsi segala jenis umbi sebagai makanan pokok mereka. Bawang putih
dan bawang merah biasanya digunakan sebagai bumbu masakan di setiap jenis
makanan perkulineran masyarakat, adapun umbi jalar dan kentang biasa disantap
secara langsung sebagai cemilan maupun sebagai lauk pelengkap makanan pokok
yang dikonsumsi. Masyarakat yang gemar mengonsumsi umbi ini akan membuat
kebutuhan umbi semakin meningkat seiiring dengan laju pertumbuhan penduduk,
untuk itu diperlukannya pengadaan produk umbi yang memadai dalam skala
nasional.
Atas dasar hal tersebut, pentingnya
dilakukan pembekalan kepada mahasiswa pertanian supaya bisa mengadakan bibit
umbi dalam jumlah besar melalui kultur jaringan, agar mereka bisa turut
berpartisipasi dalam pengelolaan kemandirian pangan nasional.
2.
Tujuan
Tujuan dari praktikum kultur
jaringan umbi (bawang putih, bawang merah, umbi jalar dan kentang) ini adalah
sebagai berikut:
a.
Mengetahui cara
sterilisasi dari kultur umbi
b.
Memperlajari
cara penanaman kultur umbi
c.
Mengetahui
pengaruh media terhadap kultur umbi
3.
Waktu dan Tempat
Praktikum
Praktium dilaksanakan pada hari Kamis,
tangal 27 Maret 2014 pukul 12.20 -14.30 WIB, di Laboratorium Bioteknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
B. Tinjauan
Pustaka
Secara anatomi, umbi mempunyai sel parenkim berdinding tebal
sampai tipis yang berisi butir amilum. Korteks besar dikelilingi beberapa sel
parenkim berbentuk oval yang dipisahkan oleh ruang antar sel. Jaringan
endodermis tidak jelas (Purnomo et al., 2009). Salah satu cara perbanyakan yang
dapat dilakukan untuk mengembalikan kualitas bibit adalah dengan kultur
jaringan. Penelitian mengenai zpt yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur
jaringan bawang merah didapatkan hasil bahwa, pada media MS kombinasi IBA 2
mg/l dan kinetin 4 mg/l menghasilkan jumlah tunas yang banyak (rata-rata 6
buah), sedangkan kombinasi INA 0,25 mg/l dan kinetin 2 mg/l menghasilkan
planlet tertinggi yaitu 10,5 cm, dan IBA 2 mg/l memacu pemanjangan akar.
Penelitian lain menunjukkan, perlakuan pemberian NAA 0,25 ppm dan BAP 4 ppm
menghasilkan saat kemunculan tunas tercepat dan jumlah tunas terbanyak.
Perlakuan NAA 1 ppm tanpa pemberian BAP menghasilkan saat kemunculan akar
tercepat dan jumlah akar terbanyak. Perlakuan NAA 0,75 ppm dan BAP 1 ppm
menghasilkan planlet tertinggi (Yunus et al., 2010).
Keuntungan melakukan umbi mikro kentang dibanding dengan umbi
natural adalah umbi kentang bebas dari patogen, pengadaannya mengurangi baiya
yang sangat besar, dapat diproduksi disetiap tempat dan setiap saat (ada syarat
khusus), dan menghasilkan umbi yang besar (Yunus et al., 2010). Rendahnya produksi Indonesia ini disebabkan belum banyaknya petani
penghasil bibit kentang bermutu, sehingga permintaan bibit kentang tidak dapat
dipenuhi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah
dengan memanfaatkan bioteknologi yaitu melalui kultur jaringan atau pembiakan
mikro kentang. Dengan tehnik ini dapat dihasilkan benih berjumlah banyak dalam
waktu relatif singkat dan bebas dari penyakit sistemik, terutama virus (Hidayat
1991 dalam Rainiyati et al., 2011).
Penyimpanan
pertumbuhan minimal adalah dengan menekan pertumbuhan biakan dengan menurunkan
proses pembelahan sel dan proses metabolisme yang hampir mendekati nol. Untuk
menekan pertumbuhan tersebut dilakukan manipulasi suhu, pemberian zat penghambat
tumbuh (Paclobutrazol, CCC, Ancymidol), retardan (ABA), pemberian
stabilisator osmotik seperti manitol dan sorbitol serta pemiskinan media,
terutama unsure makronya dari ½ sampai 1/10 nya (Mariska, et al., 1993
dalam Bermawie dan Natalini 2003).
Kentang (Solanum
tuberosum L.) merupakan tanaman sayuran yang mengandung karbohidrat tinggi.
Menurut Gunawan (1995 dalam Yunus dan Harjoko 2006), beberapa aspek yang
berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan tanaman dalam kultur jaringan
diantaranya adalah keseimbangan zat pengatur tumbuh yang terkandung dalam media
dan pembentukan umbi mikro kentang dipengaruhi oleh keseimbangan antara hormon
perangsang dan penghambat yang terdapat dalam tanaman. Giberelin diketahui
sebagai zat pengatur tumbuh yang menghambat pembentukan umbi mikro sedangkan
perangsang proses pembentukan umbi adalah BAP (Yunus
dan Harjoko 2006).
C. Alat, Bahan
dan Cara Kerja
1.
Alat
a.
Pisau Scapel
b.
Petridish
c.
Botol Kultur
Kosong
d.
Bunsen
e.
Sprayer
f.
Pinset
g.
LAF (Laminar Air Flow)
h.
Plastik Wrap
i.
Karet Gelang
j.
Tissue
2.
Bahan
a.
Eksplan: bawang
putih, bawang merah, ubi jalar dan kentang
b.
Media kultur
c.
Alkohol 70%
d.
Aquadest steril
e.
Spirtus
f.
Chlorox (Sunclin)
3.
Cara Kerja
a.
Persiapan bahan
tanam umbi jalar dan kentang
1)
Menyemai semua bahan
tanam kentang dan ubi jalar hingga tumbuh tunas.
b.
Sterilisasi ubi
jalar dan kentang
1)
Mengambil tunas
dengan mengikutsertakan sedikit daging buah.
2)
Memotong kentang
dan ubi jalar hingga setinggi 6 cm.
3)
Mencuci tunas
dengan air mengalir hingga bersih.
4)
Memasukkan
kembali ke dalam botol kosong lainya lalu diisi aquadest diulang sebanyak 3
kali atau sampai bersih.
c.
Penanaman
kentang dan ubi jalar
1)
Menyiapkan
alat-alat yang akan digunakan serta membersihkan LAF (Laminar Air Flow).
2)
Eksplan yang
telah steril kemudian diletakkan di dalam LAF.
3)
Mengambil
eksplan lalu masukkan kedalam clorox rendam 6-8 menit.
4)
Mengangkat lalu
meletakkan pada botol kosong dan pindahkan satu per satu pada petridish.
5)
Memotong tunas
hingga 2,5 cm dan tetap mengikutsertakan daging buah di awal.
6)
Mencelupkan
tunas pada larutan spirtus lalu dibakar.
7)
Mengkupas dan
membersihkan kembali tunas setelah dibakar.
8)
Membuka botol
kultur berisi media lalu dibersihkan.
9)
Menanam eksplan
pada media di dalam botol kultur tutup kembali lalu di bungkus dengan plastik
wrap dan di beri label.
d.
Persiapan bahan
tanam bawang merah dan bawang putih
1)
Mengupas lapisan
kulit terluar dari bawang putih dan bawang merah.
2)
Mencuci bersih
eksplan bawang putih dengan sabun cair.
3)
Membilas dengan
aquades sebanyak dua kali.
e.
Sterilisasi
eksplan bawang merah dan bawang putih (dilakukan dalam LAFC)
1)
Memindahkan
bawang putih ke dalam aquadest steril yang sudah di sediakan di dalam LAF.
2)
Merendam eksplan
dalam larutan, dilanjutkan dengan chlorox
5,25% (sunclin 100%) selama ± 6 menit.
3)
Membilas eksplan
dengan aquadest steril.
f.
Penanaman
eksplan bawang merah
1)
Menyiapkan
alat-alat yang akan digunakan serta membersihkan LAF (Laminar Air Flow).
2)
Eksplan yang
telah steril kemudian di letakkan di dalam LAF.
3)
Mengambil
eksplan dari umbi bawang merah dan dikupas lapisan pertama dengan menggunakan
pisau scalpel.
4)
Mencelupkan
eksplan ke dalam spirtus lalu diapi-apikan.
5)
Memotong eksplan
1/3 bagian dari umbi.
6)
Menanam eksplan
yang telah dipotong ke dalam botol kultur berisi media yang telah dibersihkan
sebelumnya.
7)
Menutup botol
dengan menggunakan plastik dan diikat dengan karet lalu di beri wrap dan di beri label.
g.
Penanaman
eksplan bawang putih
1)
Mengambil bawang
putih yang telah di rendam clorox selama 4-6 menit.
2)
Memotong 1/3
bagian dari bawang putih.
3)
Mencelupkan
bagian yang dipotong tersebut ke dalam spirtus kemudian mengapi-apikan.
4)
Menanam eksplan
ke media tanam yang ada di dalam botol kultur.
5)
Menutup botol
kultur dengan menggunakan plastik wrap kemudian memberi label.
6)
Selama
penanaman, mulut botol harus selalu dekat dengan api untuk menghindari
kontaminasi.
h.
Pemeliharaan
bahan tanam umbi
1)
Menempatkan
botol-botol media berisi eksplan di rak-rak kultur.
2)
Menjaga
lingkungan di luar botol seperti suhu, kelembaban dan cahayanya.
3)
Melakukan
penyemprotan botol-botol kultur dengan spirtus 2 hari sekali untuk mencegah
kontaminasi.
i.
Pengamatan bahan
tanam umbi selama 5 mingu, yang diamati:
1)
Saat muncuk
akar, tunas, daun dan kalus (HST), diamati setiap hari
2)
Jumlah akar,
tunas dan daun diamati seminggu sekali.
3)
Mendeksripsikan tunas
(tinggi tunas), dilakukan pada akhir pengamatan.
4)
Presentase
keberhasilan, dilakukan pada akhir pengamatan.
D. Hasil Pengamatan
dan Pembahasan
1.
Hasil Pengamatan
Tabel 2.1 Pengaruh BAP
Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Eksplan Ubi Jalar (Ipomea batatas L)
Taanggal
|
Saat
muncul
(HST)
|
Jumlah
|
Kontam
(bakteri/jamur)
|
Keterangan
|
||
Akar
|
Tunas
(baru)
|
Akar
|
Tunas
(baru)
|
|||
3 April 2014
|
x
|
x
|
x
|
x
|
jamur
|
Terdapat hifa tebal berwarna hitam
|
Sumber: Logbook
2.
Pembahasan
Tanaman ubi jalar
mempunyai umbi akar yang merupakan simpanan
energi bagi tumbuhan tersebut. Bentuk daunnya sangat bervariasi dari bentuk lonjong sampai bentuk seperti jari
dengan lekukan tepi yang banyak dan dalam.
Ubi jalar dapat berwarna putih, orange sampai merah, bahkan ada yang
berwarna kebiruan, violet atau berbintik-bintik
biru. Ubi yang berwarna kuning, orange
sampai merah banyak mengandung karatenoid yang merupakan prekursor vitamin A (Sediaoetoma 1993 dalam Ginting 2011). Soenarjo (1984 dalam Ginting 2011)
mengatakan bahwa nilai gizi ubi jalar secara kualitatif selalu dipengaruhi oleh
varietas, lokasi dan musim tanam. Musim kemarau dari varietas yang sama akan
menghasilkan tepung yang relatif tinggi dari pada musim penghujan, demikian
juga ubi jalar yang berdaging merah muda umumya mempunyai kadar karoten lebih
tinggi daripada yang berwarna putih.
Zat
pengatur tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan diperlukan
untuk mengendalikan dan mengatur pertumbuhan kultur tanaman. Zat ini mempengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Jenis
dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan. Secara
umum, zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan ada tiga
kelompok besar, yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin (Luri 2009). Eksplan atau
kultur dapat terkontaminasi oleh berbagai mikrooganisme seperti jamur, bakteri atau virus.
Organisme–organisme tersebut secara universal terdapat pada jaringan tanaman.
Banyak yang bersifat non-patogenik, artinya mereka tidak menyebabkan bahaya
bagi tanaman inang pada kondisi normal. Kondisi kering dan adanya organisme kompetitor menyebabkan
mereka dalam kondisi terkontrol. Tapi, kondisi in vitro yang disukai eksplan,
yaitu mengandung sukrosa dan hara dalam konsentrasi tinggi, kelembaban tinggi
dan suhu yang hangat, juga disukai mikroorganisme yang seringkali tumbuh dan
berkembang sangat cepat, mengalahkan eksplan.
Kontaminasi
mungkin terjadi pada permuakan tanaman, antar sel atau dalam sel tanaman. Kontaminasi
permukaan dapat diatasi dengan cara pencucian menggunakan berbagai perlakuan
bahan kimia. Kemungkinan kedua, organisme
yang hidup pada jaringan
tanaman
lebih susah ditangani. Hal ini dapat dikontrol dengan pemberian pestisida atau
fungisida sistemik yang diberikan pada tanaman stok sebelum dijadikan eksplan
atau dapat juga diberikan di kultur itu sendiri. Kemungkinan ketiga, media awal sudah terkontaminasi, dapat
ditanggulangi dengan pemberian pestisida pada bahan pembuatan media. Kemungkinan keempat, ketika jaringan tanaman
terluka, dengan cara pemotongan atau perlakuan bahan kimia seperti larutan
klorin, reaksi fisiologis terjadi pada sel sekitar luka. Salah satu prosesnya
adalah produksi bahan biokimia atau sintesa sebagai mekanisme perlindungan.
Keluarnya substansi dari jaringan akan terjadi. Bahan kimia ini mungkin atau
mungkin tidak memberi pengaruh mematikan pada pertumbuhan kultur. Dengan cara mencuci
eksplan sebelum penanaman dan menghindarai desikasi dapat mengurangi reaksi
luka tapi beberapa spesies masih memproduksi eksudat. Mungkin perlu untuk
mentransfer eksplan ke media segar/baru secara teratur pada minggu–minggu awal
kultur untuk menghilangkan eksudat. Pada kasus lain, tambahan bahan kimia
mungkin digunakan untuk menyerap eksudat. Adsorbent misalnya arang aktif, PVP
(polyvinylpyrrolidine). Agen anti-oksidising seperti asam askorbat, asam sitrat
atau sistein mungkin dapat mengurangi atau mencegah produksi eksudat, terutama
senyawa fenolik. Perendaman
ekplan pada air steril 50˚C selama 5–15 menit berhasil mengatasi produksi
eksudat (Jakes 2011).
Hasil praktikum didapat eksplan Ubi
Jalar (Ipomea batatas L) mengalami
kontaminasi yang disebabkan oleh jamur. Kontaminasi terjadi dimungkinkan akibat
cara kerja yang kurang aseptis pada proses penanaman kultur tanaman ubi. Hal
yang perlu diperbaiki, sewaktu kegiatan penanaman kultur, ruangan dijaga
kesterilannya, praktikan sebaiknya irit berbicara sewaktu berada di ruang
kultur.
E. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum acara ‘Kultur
Jaringan Umbi (Bawang Putih, Bawang Merah, Umbi Jalar, Kentang)’, yang
diwakilkan dengan penanaman kultur tanaman ubi jalar (Ipomea batatas L) adalah sebagai berikut:
a.
Eksplan Ubi
jalar mengalami kontaminasi sehingga tidak diperoleh data kesimpulan
perkembangan tanaman dalam kaitannya dengan pengaruh BAP.
b.
Pengamatan pada
minggu pertama didapat tanamn sudah mengalami kontam berupa terdapatnya hifa
tebal berwarna hitam.
2.
Saran
Praktikan sebaiknya tidak berkumpul
dan saling mengobrol didalam ruang kultur.
|
Bermawie,
Nurliani dan Natalini Nova Kristina. 2003.
Penyimpanan In Vitro Tanaman
Obat Potensial. Perkembangan Teknologi TRO Vol. XV No.1. http://fp.unud.ac.id
diakses pada 26 Maret 2014.
Ginting. 2011. Ubi Jalar dan Potensinya Tanaman. http://repository.usu.ac.id
diakses pada 18 Mei 2014.
Jakes. 2011. Pembentukan Kultur Aseptik. http://
http://penyuluhthl.wordpress.com diakses pada 19 Mei
2014.
Luri, Sepdian. 2009. Komposisi Media Kultur Jaringan. http://
http://kultur-jaringan.blogspot.com diakses pad 18 Mei
2014.
Purnomo,
Suharyanto, Hendra Wardhana. 2009. Kekerabatan Fenetik Dioscorea spp. Berdasarkan Karakter Anatomi Umbi. Jurnal Berkala Ilmiah Biologi Vol.8 No. 9 hal 41-49. Universitas
Gadjah Mada: Yogyakarta.
Rainiyati,
Jasminarni, Neliyati dan Henny H. 2011. Proses Penyediaan Bahan Setek
Kentang Asal Kultur Jaringan untuk Produksi Bibit Kentang Mini pada Kelompok
Tani Kentang di Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci Provinsi
Jambi. Jurnal
Pengabdian pada Masyarakat No. 52 Tahun 2011. http://online-journal.unja.ac.id diakses pada 26 Maret 2014.
Yunus, Ahmad, Samanhudi, Amalia T Sakya, Muji Rahayu. 2010. Teknologi
Kultur Jaringan. Surakarta: UNS
Press.
Yunus, Ahmad dan Dwi Harjoko. 2006. Pengaru Konsentrasi Paklobutrazol
dan 6-Benzil Amino Purin (BAP) terhadap
Pembentukan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.). Jurnal Agrosains 8(1):57-62. Fakultas
Pertanian UNS: Surakarta.
|
KULTUR TANAMAN KHASIAT OBAT (KENCUR, JAHE, KUNYIT DAN
TEMULAWAK)
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak
keanekaragaman hayati baik dalam flora maupun fauna, khususnya flora tanaman
yang berkhasiat obat-obatan. Hingga saat ini masih bermunculan jenis spesies
yang baru terdaftar sebagai tanaman khasiat obat, yang biasanya ditemukan di
hutan-hutan terpencil di sudut pulau kita. Obat-obatan herbal memiliki banyak
keunggulan dibanding dengan obat buatan pabrik, dimana obat herbal tidak
berdampak negatif bagi organ tubuh karena berasal dari bahan-bahan alami yang
tidak tercampur bahan kimia berbahaya. Seiring perkembangan zaman, masyarakat
yang peduli kesehatan semakin meningkat, sehingga konsumsi tanaman herbal untuk
obat semakin meningkat seiiring kesadaran pentingnya mengonsumsi yang alami.
Tanaman berkhasiat obat yang
terkenal khasiatnya dan sering dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah jenis
tanaman jahe, kunyit, temulawak dan kencur. Pengadaan bibit secara besar untuk
menunjang kebutuhan obat maupun menunjang kesehatan diperlukan secara mutlak.
Perbanyakan tanaman yang sesuai adalah dengan teknik kultur jaringan, dimana
tanaman yang didapat dalam jumlah besar, seragam, bebas virus dan penyakit,
sehingga aman di konsumsi manusia.
2.
Tujuan
Tujuan dari praktikum kultur tanaman
khasiat obat (kencur, jahe, kunyit dan temulawak) ini adalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui
teknik kultur jaringan jahe, kunyit. kencur dan temulawak.
b.
Mengetahui
pengaruh BAP dan IBA terhadap pertumbuhan dan perkembangan jahe, kunyit, kencur
dan temulawak.
|
3.
Waktu dan Tempat
Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari
Kamis, tanggal 27 Maret 2014
pukul
13.20 – 14.30, di Laboratorium Bioteknologi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret.
B. Tinjauan
Pustaka
Prinsip dasar sterilisasi eksplan adalah mensterilkan eksplan
dari berbagai mikroorganisme, tetapi eksplannya tidak mati. Setiap tanaman
memerlukan perlakuan khusus sehingga sebelum mengulturkan tanaman perlu
melakukan percobaan sterilisasi (Sandra 2000). Setiap tanaman
memiliki sensitifitas masing-masing terhadap media tumbuh, namum umumnya
disubkultur secara periodik antara 3 sampai 6 bulan (Bermawie dan Natalini 2003).
Jahe
merupakan komoditas penting multiguna karena rimpang tanaman ini dapat
menghasilkan minyak atsiri, oleoserin dan bahan baku industry farmasi,
kosmetik, dan jamu tradisional. Hambatan utama yang dijumpai dalam budidaya
tanaman jahe adalah adanya penyakit busuk rimpang (Widadi 2006).
C. Alat, Bahan
dan Cara Kerja
1.
Alat
a.
LAFC (Laminar Air Flow Chamber) lengkap dengan
lampu bunsen
b.
Petridish
c.
Botol-botol
kultur
d.
Pinset besar dan
kecil
e.
Pisau pemes
2.
Bahan
a.
Eksplan: Jahe (Zingiber officinale Rosc.), Kunyit (Curcuma domestica), Kencur (Curcuma
longa L.), dan Temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb)
b.
Media kultur
c.
Alkohol 96%
d.
Aquadest steril
e.
Spirtus
f.
Chlorox (Sunclin)
3.
Cara Kerja
a.
Persiapan
eksplan
1)
Melakukan
persemaian pada semua bahan tanaman dan melakukan pengamatan sampai tumbuh
tunas.
2)
Mengambil tunas
dengan mengikutsertakan sedikit bagian daging buah.
3)
Memotong bagian
tunas dengan ukuran tertentu, maksimal 6 cm atau bisa kurang
4)
Mencuci bagian
tunas yang telah dipotong sebelumnya dengan air mengalir hingga bersih.
5)
Menyiapkan media
steril dalam botol berisi aquadest kemudian menggojok bagian tunas tersebut
dengan aquadest sebanyak 3-4 kali.
b.
Sterilisasi
eksplan (dilakukan dalam LAFC)
1)
Merendam eksplan
dengan chlorox 50% (Sunclin 100%) selama ± 6-8 menit.
2)
Membilas eksplan
dengan aquadest steril.
3)
Mengangkat dan
menaruh eksplan setelah dibersihkan pada botol kosong.
4)
Mengambil
eksplan dan memotong tunas hingga 3,5 cm dengan tetap mengikutsertakan daging
buah.
5)
Mencelupkan
tunas yang telah dipotong ke dalam larutan spirtus lalu dibakar.
6)
Mengupas atau
membersihkan kembali sampai bagian yang terbakar hilang.
c.
Penanaman
eksplan
1)
Membuka plasti
penutup botol media kultur.
2)
Mengambil
eksplan dan menanamnya di media kultur dengan pinset. Setelah digunakan, pinset
harus selalu dibakar diatas api.
3)
Mendekatkan
mulut botol dengan api selama penanaman untuk menghindari kontaminasi.
d.
Pemeliharaan
1)
Menempatkan
botol-botol media berisi eksplan di rak-rak kultur.
2)
Menjaga keadaan
suhu, kelembaban dan cahaya pada lingkungan di luar botol.
3)
Menyemprotkan
botol-botol kultur dengan spirtus dilakukan 2 hari sekali untuk mencegah
kontaminasi.
e.
Pengamatan
selama 5 minggu, yang diamati:
1)
Mengamati setiap
hari pengamatan saat muncul akar, tunas, daun dan kalus (HST).
2)
Mengamati 1
minggu sekali pengamatan jumlah akar, jumlah tunas dan jumlah daun.
3)
Melakukan
deksripsi kalus (struktur dan warna kalus) pada akhir pengamatan.
4)
Membuat
presentase keberhasilan dan melakukan perhitungan data analisis pada akhir
pengamatan.
D. Hasil dan
Pembahasan
1.
Hasil Pengamtan
Tabel 2.1
Pengaruh BAP Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Eksplan Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb)
Taanggal
|
Saat muncul
(HST)
|
Jumlah
|
Kontam
(bakteri/jamur)
|
Keterangan
|
||
Akar
|
Tunas
(baru)
|
Akar
|
Tunas
(baru)
|
|||
3 April
2014
|
x
|
x
|
x
|
x
|
jamur
|
Terdapat
hifa tebal berwarna putih
|
Sumber: Logbook
2.
Pembahasan
Perbanyakan tanaman obat melalui
teknik kultur jaringan berpeluang untuk mendukung upaya pengadaan benih sumber
bebas patogen dalam jumlah banyak Hal ini akan menunjang program perbaikan
potensi genetik untuk menghasilkan varietas unggul baru selai menunjang
penyediaan benih sehat dalam jumlah banyak (Abdillah 2013). Keberhasilan perbanyakan in vitro
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain respon tanaman, jenis
media tumbuh yang digunakan dan garam-garam mineral, vitamin, zat pengatur
tumbuh (ZPT) yang tepat, serta kondisi lingkungan kultur (George 1993 Kristina
dan Syahid 2012). Benzyl Adenin (BA)
merupakan salah satu jenis ZPT yang umum digunakan dalam proses multiplikasi
tanaman secara in vitro. ZPT ini berperan penting dalam pembelahan sel,
yaitu dalam pembentukan benang gelondong pada proses metaphase (George dan
Sherrington 1984 dalam Kristina dan Syahid 2012).
Zat pengatur tumbuh berperan penting
dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman (Daves 1995 dalam
Abdillah 2013), peranannya antara lan mengatur kecepatan pertumbuhan dari
masing-masing jaringan dan mengintegrasikan bagian-bagian tersebut gna
menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanman. Aktivitas zpt di dalm
pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kmia, konsentrasi, genotipe tanman
serta fase fisiologi tanaman (Abdillah 2013).
Beberapa sumber
kontaminasi miroorganisme pada sistem kultur jaringan dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Medium sebagai
akibat proses sterilisasi yang tidak sempurna.
2. Lingkungan kerja dan
pelaksaan penanaman yang kurang hati – hati.
3. Eksplan
4. Serangga atau hewan
kecil yang berhasil masuk kedalam botol kultur setelah diletakkan didalam
ruanng kultur ataupun ruang stok (Zulkarnain 2009).
Hasil pelaksanaan praktikum kultur
jaringan tanaman temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb), eksplan mengalami kontaminasi sehingga tidak dapat
diamati perkembangannya. Sumber kontam diduga berasal dari praktikan yang
bekerja kurang aseptis.
E. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum acara ‘Kultur
Tanaman Khasiat Obat (Kencur, Jahe, Kunyit dan Temulawak)’ yang diwakilkan oleh
tanaman temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) adalah sebagai berikut:
a.
Eksplan Temulawak
mengalami kontaminasi berupa tumbuhnya hifa jamur berwarna putih pekat pada
dalam tabung kultur.
b.
Kontaminasi
terlihat semenjak pengamatan pada minggu pertama.
2.
Saran
Praktikan diharapkan mengutamakan
kerja steril di setiap aktivitas didalam laboratorium.
|
Abdillah, Rahmat Hanif. 2013. Pemanfaatan Embriogenesis
Somatik dalam Usaha Penyediaan Bibit Tanaman Obat. Makalah
Seminar: Kamis, 2 Mei 2013. http:/elisa.ugm.ac.id
di akses pada 20 Mei 2014.
Bermawie,
Nurliani dan Natalini Nova Kristina. 2003.
Penyimpanan In Vitro Tanaman
Obat Potensial. Perkembangan Teknologi TRO Vol. XV No.1. http://fp.unud.ac.id
diakses pada 26 Maret 2014.
Kristina, Nova Natalini dan Syahid Siti Fatimah. 2012.
Pengaruh Air Kelapa Terhadap
Multiplikasi Tunas In Vitro, Produksi Rimpang, dan Kandungan
Xanthorrhizol Temulawak di Lapangan. Jurnal Littri 18(3), September 2012. Hlm.
125-134.
http://perkebunan.itbang.deptan.go.id diakses
pada 19 Mei 2014.
Sandra, Edhi.
2000. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah
Tangga. Agromedia Pustaka.
Widadi, Sri.
2006. Epidemi Penyakit Busuk Rimpang pada Tanaman Jahe (Zingiber Officinale Rosc.).
Jurnal Agrosains 8(1):32-37. Fakultas
Pertanian UNS: Surakarta
Yunus, Ahmad, Samanhudi, Amalia T Sakya, Muji Rahayu. 2010. Teknologi
Kultur Jaringan. Surakarta: UNS
Press.
Zulkarnain.
2009. Kultur Jaringan Tanaman. Jakarta: Bumi
Aksara.
KULTUR TANAMAN CAM (SANSIVERA, NANAS, KAKTUS DAN BUAH
NAGA)
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Tanaman hias maupun tanaman
buah-buahan memiliki nilai tersendiri yang menguntungkan untuk dibudidaya.
Buah-buahan penting di konsumsi manusia untuk menunjang kebutuhan vitamin bagi
pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga permintaan akan buah-buahan cukup
besar mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak. Begitu juga
dengan kebutuhan akan tanaman hias sebagai sarana mempercantik suatu taman
maupun ruangan, selain memberikan unsur keindahan, tanaman hias juga bisa
berfungsi sebagai penyejuk udara dan akan memberikan perasaan nyaman bagi
pemiliknya.
Permintaan akan kebutuhan
buah-buahan maupun tanaman hias perlu diimbangi dengan ketersedian
tanaman-tanaman tersebut untuk memenuhi kebutuhan pasar. Perlu dipikirkan cara
yang tepat untuk mengatasi permintaan pasar yang meningkat, salah satunya dapat
dilakukan dengan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan pada tanaman
tersebut. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dianggap efisien karena
dapat menghemat waktu, lahan, dan juga biaya. Supaya berhasil dalam
mengkulturkan tanaman tersebut, perlu dilakukan pembelajaran mengenai cara
kultur jaringan tanaman tersebut dengan tepat, karena masing-masing spesies
membutuhkan perlakukan yang berbeda-beda, untuk itulah dilakukan percobaan ini.
2.
Tujuan
Tujuan dari praktikum kultur tanaman
CAM (sansivera, nanas, kaktus dan buah naga) ini adalah sebagai berikut:
a.
b.
Mengetahui
pengaruh BAP dan IBA terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan Sansevieria
3.
Waktu dan Tempat
Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari
Kamis, tanggal 13 Maret 2014 pukul 13.20 – 14.30, di Laboratorium Bioteknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
B. Tinjauan
Pustaka
Sansevieria memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan mempunyai prospek
yang cukup bagus, karena telah menjadi salah satu komoditas eksport. Permintaan
akan komoditas Sansevieria perlu diimbangi dengan teknik budidaya yang baik
guna memenuhi permintaan pasar domestik dan internasional. Perbanyakan
Sansevieria pada umumnya dilakukan secara vegetatif, seperti: pisah anakan,
stek daun, potong pucuk, cacah daun, cabut pucuk, stek rimpang, dan kultur
jaringan (Purwanto 2006 dalam Suharsi dan Namira 2013). Perbanyakan secara
vegetatif banyak dilakukan karena lebih cepat menghasilkan anakan dibandingkan
perbanyakan secara generatif. Selain itu budidaya tanaman Sansevieria
memerlukan komposisi media tanam yang cocok, sehingga dapat memberikan
pertumbuhan yang baik.
Pembentukan budaya jangka panjang dan efisien dalam protokol regenerasi
vitro untuk Sansevieria cylindrica dikembangkan menggunakan daun berasal
kultur kalus dan nodul. Kalus berlimpah pada cakram daun dicapai pada Murashige
dan Skoog (MS ) ditambah dengan 10 uM indole-3- butyric acid (IBA), sedangkan
frekuensi tinggi nodulasi diinduksi pada asam 2,4-dichlorophenoxyacetic (2,4-
D) dan 2,4,5-asam trichlorophenoxyacetic (2,4,5–T) berisi media (Shahzad et
al., 2002). Tanaman sansevieria, pilihlah tanaman dari jaringan yang masih muda,
jaringan daun pucuk yang masih muda dan tunas merupakan bahan eksplan yang
sangat bagus (Purwanto 2006).
C. Alat, Bahan
dan Cara Kerja
1.
Alat
a.
LAFC (Laminar Air Flow Chamber) lengkap dengan
lampu bunsen
b.
Petridish
c.
Botol-botol
kultur
d.
Peralatan
diseksi: pinset besar/kecil dan pisau pemes
2.
Bahan
a.
Eksplan:
Sansevieria
b.
Media kultur
c.
Akohol 96%
d.
Aquadest steril
e.
Spirtus
f.
Chlorox (Sunclin)
3.
Cara Kerja
a.
Persiapan media
sub kultur
b.
Sub kultur
(dilakukan dalam LAFC)
1)
Merendam eksplan
dalam larutan Dithane M-45 mg/l selama ± 12 jam, dilanjutkan dengan chlorox
5,25 % (Sunclin 100%) selama ± 3 menit.
2)
Merendam dalam
larutan tween-80 untuk menghilangkan lapisan lilin/kutikula/duri-duri/rambut.
3)
Membilas eksplan
dengan aquadest steril.
c.
Penanaman
eksplan
1)
Membuka plastik
penutup botol media kultur.
2)
Mengambil
eksplan dan menanamnya di media kultur dengan pinset. Setelah digunakan, pinset
harus selalu dibakar diatas api.
3)
Selama
penanaman, mulut botol harus selalu dekat dengan api untuk menghindari
kontaminasi.
d.
Pemeliharaan
1)
Botol-botol
media berisi eksplan ditempatkan di rak-rak kultur
2)
Lingkungan
diluar botol harus dijaga suhu, kelembaban dan cahayanya.
3)
Penyemprotan
botol-botol kultur dengan spirtus dilakukan 2 hari sekali untuk mencegah
kontaminasi.
e.
Pengamatan
selama 2 minggu
1)
Saat muncul
akar, tunas, daun dan kalus (HST), diamati setiap hari.
2)
Jumlah akar,
tunas dan daun diamati 1 minggu sekali.
3)
Mendeksripsikan
kalus (struktur dan warna kalus), dilakukan pada akhir pengamatan.
4)
Persentase
keberhasilan dilakukan pada akhir pengamatan
D. Hasil Pengamatan
dan Pembahasan
1.
Hasil Pengamatan
Tabel 4.1 Pengaruh BAP Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Eksplan Sansivera
|
||||||||||
Eksplan
|
Tanggal
|
Saat muncul (HST)
|
Jumlah
|
Keterangan
|
||||||
Akar
|
Tunas
|
Daun
|
Kalus
|
Akar
|
Tunas
|
Daun
|
|
|||
Sansivera
|
03-04-2014
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Terkontaminasi oleh jamur
sehingga eksplan mengalami kematian
|
|
10-04-2014
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
|||
Tabel 4.1
SSSumber: Logbook
2.
Pembahasan
Menurut Sharma (2009
dalam Batubara 2011), tanaman Sansevieria diklasifikasikan kedalam family Agavaceae yang umumnya
mempunyai daun yang berdaging tebal dan
banyak mengandung air. Pada
sansievera metode kultur jaringan lebih sering diterapkan untuk membiakkan
jenis yang menghasilkan anakan seperti jenis S. cylindrica dan jenis yang langka. Eksplan diambil dari mata
tunas pucuk rimpang atau pucuk daun sepanjang 1 cm. sebelum ditanam eksplan
disterilisasi terlebih dahulu untuk menghindari kontaminasi (Pramono 2008). Kondisi fisiologi eksplan memiliki
peranan penting bagi keberhasilan teknik kultur jaringan. Pierik (1997 dalam
Batubara 2011) menyatakan bahwa pada umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap
beregenerasi daripada bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari
tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit berproliferasi daripada mata tunas
yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh. Sama halnya dengan kasus
dormansi pada eksplan biji (Zulkarnain 2009 dalam Batubara 2011).
Keberadaan hormon dan zat pengatur
tumbuh dalam kegiatan kultur jaringan adalah mutlak. Karena kegiatan kultur
jaringan umumnya menggunakan bahan tanam yang tidak lazim (sel, jaringan atau
organ) dan budidayanya adalah budidaya yang terkendali. Pengaturan proses
tumbuh dan berkembangnya eksplan dapat dilakukan dengan mengatur macam dan
konsentrasi hormon atau zpt tertentu sehingga menghasilkan kombinasi yang tepat
sesuai dengan harapan (Santoso dan Nursandi 2001 dalm Batubara 2011). Pengaruh dari suatu ZPT bergantung pada spesies tumbuhan, situs aksi ZPT
pada tumbuhan, tahap perkembangan tumbuhan dan konsentrasi ZPT. Satu ZPT tidak
bekerja sendiri dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, pada
umumnya keseimbangan konsentrasi dari beberapa ZPT-lah yang akan mengontrol
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Dewi 2008 dalam Batubara 2011).
Hasil
praktikum acara kultur jaringan tanaman sanseveiria ini, eksplan juga mengalami
kontaminasi oleh jamur sehingga tidak dapat berkembang untuk menjadi tanaman
baru. Sumber kontam diduga oleh eksudat yang dikeluarkan eksplan sewaktu eksplan di potong di tiap sisi-sisinya, kemudian baru
ditanam.
E. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum acara Kultur Tanaman
CAM (Sansivera, Nanas, Kaktus dan Buah Naga) ini yang diwakilkan oleh tanamn
Sansevieria adalah sebagai berikut:
a.
Kultur jaringan
tanaman Sansivera mengalami kontaminasi sehingga tidak dapat diketahu bagaimana
perkembangan pertumbuhannya.
b.
Hasil
kontaminasi didapat pada pengamatan pada minggu pertama.
2.
Saran
Pemotongan pada bahan tanamn eksplan
sebaiknya digojog dengan aquades dulu selama 5 menit, kemudian baru ditanam.
Pemberian pestisida pada larutan media kultur dapat diberikan dengan kadar yang
tepat.
Batubara, WS. 2011. Sanseveiria. http://repository.usu.ac.id
diakses pada 20 Mei 2014.
Purwanto, Arie W. 2006.
Sansevieria Flora Cantik Penyerap Racun. Kanisius: Yogyakarta.
Shahzad
A, N. Ahmad,
M.A. Rather, M.K. Husain, M. Anis. 2002. Improved shoot regeneration
system through leaf derived callus and nodule culture of Sansevieria cylindrical. Biologia Plantarum 53 (4): 745-749,
2009. http://researchget.net
diakses pada 14 Maret 2014.
Suharsi, Tatiek Kartika dan Namira. 2013. Pertumbuhan Tunas
Sansevieria trifaciata Prain
‘Laurentii’ pada Beberapa Komposisi Media Tanam dan Konsentrasi GA3. Bul. Agrohorti
1 (1) : 89 - 93 (2013). http://portalgaruda.org
diakses pada15 Maret 2104.
|
SUB KULTUR (ANGGREK)
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Perbanyakan tanaman anggrek secara
kultur jaringan membutuhkan perawatan yang rutin untuk mencapai keberhasilan
mendapat planlet baru. Eksplan anggrek yang sudah ditanam dalam media yang
sudah disiapkan walaupun berada didalam botol kultur yang tertutup rapat, juga
bisa rawan terkena kontaminasi oleh bakteri maupun jamur. Untuk itu
diperlukannya penyemprotan alkohol secara berkala pada luar permukaan botol
kultur untuk mengurangi bahaya kontaminasi yang akan menyebabkan kegagalan
mendapat planlet anggrek.
Selain faktor luar yang berpengaruh,
kebutuhan nutrisi pada media bisa berkurang seiiring pertumbuhan berupa
regerenasi maupun diferensiasi eksplan anggrek tersebut. Untuk itu
diperlukannya pemindahan eksplan ke media baru secara berkala, dimana dengan
media baru tersebut, eksplan mendapat kebutuhan nutrisi yang cukup sehingga
dapat tetap hidup optimal. Pemindahan eksplan ini diperlukan kehati-hatian
untuk menghindari kerusakan mekanis akibat pengambilan maupun peletakan eksplan
anggrek dengan pinset. Pemahaman mengenai kegiatan subkultur pada tanaman
anggrek ini akan memberikan manfaat bagi praktikan dalam menunjang keberhasilan
kegiatan kultur jaringannya.
2.
Tujuan
Tujuan dari praktikum sub kultur
tanama anggrek ini adalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui
teknik memindahkan atau sub-kultur tanaman secara in vitro pada kultur tanaman
jaringan anggrek.
b.
Mengetahui
tingkat keberhasilan sub-kultur pada anggrek.
3.
Waktu dan Tempat
Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari
Kamis, tanggal 13 Maret 2014 pukul 13.20 – 14.30, di Laboratorium Bioteknologi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
B. Tinjauan
Pustaka
Teknik menanam eksplan dalam botol sangat menentukan
keberhasilan mengulturkan tanaman anggrek. Prinsipnya adalah menanam eksplan
dengan kondisi steril. Karena itu, setiap membuka botol kultur, mulut botol
harus digarang diatas api. Selain itu, benda-benda yang dimasukkan ke dalam
laminar air flow harus disemprot memakai alkohol, termasuk tangan kita. Tata
letak peralatan dalam laminar sangan menentukan efektivitas kerja dalam
mengulturkan anggrek (Sandra 2000). Akibat dari
penyimpanan kultur yang cukup lama dapat menurunkan daya regenerasi tunas.
Menurut Wetherell (dalam Santoso, 1995) secara teori ada tiga masalah
yang dapat menyebabkan kerusakan kultur- kultur tersebut, yaitu perubahan
genetik, kekurangan nutrisi dan penyakit (Bermawie dan Natalini 2003).
Menurut
Damayanti (2011), kematangan buah anggrek sangat tergantung pada jenis anggrek
itu sendiri. Buah anggrek Dendrobium akan matang dalam umur 3-4 bulan, buah
anggrek Vanda setelah 6-7 bulan, sedangkan buah anggrek Cattleya baru matang
setelah 9 bulan. Buah anggrek adalah buah lentera dan akan pecah ketika matang.
Bagian yang membuka adalah bagian tengahnya. Untuk kultur jaringan anggrek,
pengambilan buah lebih baik sebelum buah pecah tetapi sudah mendekati masa
matang sehingga biji siap untuk berkecambah.
Pemilihan
eksplan yang tepat, merupakan tahap pertama dalam tiga tahap yang dilakukan
dalam kultur jaringan. Eksplan tersebut harus disterilisasi dan kemudian baru
dapat ditanam pada media. Tahap kedua adalah perbanyakan tunas pada media dan
tahap ketiga adalah pemindahan ke media pengakaran yang kemudian dilanjutkan
dengan aklimatisasi atau penyesuaian tanaman ke lingkungan alami. Sub kultur
dilakukan saat media sudah terlihat habis atau setiap 2 bulan sekali. Jumlah
sub kultur juga sekitar 2-3 kali sebelum aklimatisasi. Jika terlalu sering
melakukan sub kultur dapat mengakibatkan perubahan pada tanaman anggrek yang
disebut dengan keragaman somaklonal. Pertumbuhan anggrek di dalam botol kultur
biasanya selama 6 bulan sampai 2 tahun tergantung varietas.
C. Alat, Bahan
dan Cara Kerja
1.
Alat
a.
LAFC (Laminar Air Flow Chamber) lengkap dengan
lampu bunsen
b.
Petridish
c.
Botol-botol
kultur
d.
Peralatan
diseksi: pinset besar/kecil dan pisau pemes
2.
Bahan
a.
Eksplan: kultur
anggrek usia 3 bulan
b.
Media kultur
anggrek
c.
Alkohol 96%
d.
Aquadest steril
e.
Spirtus
f.
Chlorox
(Sunclin)
3.
Cara Kerja
c.
Persiapan media
sub kultur
d.
Sub kultur
(dilakukan dalam LAFC)
4)
Mengeluarkan
eksplan kultur anggrek pada petridish.
5)
Membersihkan
eksplan dari media yang ada, akar pada eksplan tidak boleh digunakan hanya dibersihkan
dari bagian yang mati.
e.
Penanaman
eksplan
4)
Membuka plastik
penutup botol media kultur.
5)
Mengambil
eksplan dan menanamnya di media subkultur dengan pinset. Satu botol kultur
diisi 2 tanaman. Setelah digunakan, pinset harus selalu dibakar diatas api.
6)
Selama
penanaman, mulut botol harus selalu dekat dengan api untuk menghindari
kontaminasi.
f.
Pemeliharaan
4)
Botol-botol
media berisi eksplan ditempatkan di rak-rak kultur
5)
Lingkungan
diluar botol harus dijaga suhu, kelembaban dan cahayanya.
6)
Penyemprotan botol-botol
kultur dengan spirtus dilakukan 2 hari sekali untuk mencegah kontaminasi.
g.
Pengamatan
selama 2 minggu
5)
Saat muncul
akar, tunas, daun dan kalus (HST), diamati setiap hari.
6)
Jumlah akar,
tunas dan daun diamati 1 minggu sekali.
7)
Mendeksripsikan
kalus (struktur dan warna kalus), dilakukan pada akhir pengamatan.
8)
Persentase
keberhasilan dilakukan pada akhir pengamatan.
D.
Hasil dan
Pembahasan
1.
Hasil Pengamatan
Tabel 5.1 Pengaruh BAP
Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Eksplan Anggrek (Dendrobium heterocarpum)
Taanggal
|
Saat
muncul
(HST)
|
Jumlah
|
Kontam
(bakteri/jamur)
|
Keterangan
|
||
Akar
|
Tunas
(baru)
|
Akar
|
Tunas
(baru)
|
|||
10 April 2014
|
x
|
x
|
x
|
x
|
Jamur
|
Terdapat hifa tebal berwarna hitam
|
Sumber: Logbook
2.
Pembahasan
Sub kultur dilakukan
untuk mengganti media dan penjarangan bibit anggrek. Metode sub kultur juga diawali
dengan pembuatan media, jika embrio anggrek telah berwarna hijau dengan ukuran
lebih besar dari semula, maka embrio tersebut dapat dipindah ke dalam media sub
kultur yang baru sambil dijarangkan. Sub kultur juga dilakukan apabila
persediaan media dalam botol telah habis digunakan. Sub kultur dilakukan
sekitar 3 – 5 kali tergantung kecepatan pertumbuhan bibit (Hendriyanti et al.,
2012). Sub kultur dilakukan saat media sudah terlihat habis atau setiap 2 bulan
sekali. Jumlah sub kultur juga sekitar 2-3 kali sebelum aklimatisasi. Jika
terlalu sering melakukan sub kultur dapat mengakibatkan perubahan pada tanaman
anggrek yang disebut dengan keragaman somaklonal. Pertumbuhan anggrek di dalam
botol kultur biasanya selama 6 bulan sampai 2 tahun tergantung varietas
(Kuswandi 2012).
Beberapa sifat yang kurang
menguntungkan yang dimiliki tanaman hasil regenerasi melalui kultur jaringan
adalah lapisan kutikula kurang berkembang, jaringan pembuluh akar dan batang
kurang sempurna, stomata tidak berfungsi, berkurangnya sel-sel palisade daun,
dan lignifikasi batang (Gunawan 1988 dalam Slamet 2011). Keadaan tersebut
menyebabkan bibit kultur rentan terhadap hama, penyakit, dan udara luar
sehingga menyulitkan aklimatisasinya.
E. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum acara ‘Sub
Kultur Anggrek’ ini adalah sebagai berikut:
a.
eksplan
mengalami kontaminasi oleh jamur dengan hifa berwarna hitam.
b.
Eksplan tidak
dapat berdeferiensasi untuk tumbuh menjadi tanaman baru.
2.
Saran
Praktikan harus lebih bekerja
aseptik untuk menghindari kontaminasi pada penanaman eksplan.
|
Bermawie,
Nurliani dan Natalini Nova Kristina. 2003.
Penyimpanan In Vitro Tanaman
Obat Potensial. Perkembangan Teknologi TRO Vol. XV No.1. http://fp.unud.ac.id
diakses pada 26 Maret 2014.
Cahyaningrum,
Paramita Kuswandi. 2012. Makalah ppm Menumbuhkan Semangat
Berwirausaha dengan Memanfaatkan Bioteknologi
Melalui Pengenalan
Aklimatisasi Anggrek Hasil Kultur
Jaringan. http://staff.uny.ac.id diakses pada 26 Maret 2014.
Hendriyanti, Dessy, Antrasita Esti U., Harkingto, Lusia Anggraita W. B., Winesty
Dewi
N. 2012. Wirausaha Tanaman Anggrek Secara Kultur Jaringan. http://dosen.naratoma.ac.id diakses pada 20 Mei 2014.
Kuswandi, Paramita
Cahyaningrum. 2012. Menumbuhkan
Semangat Berwirausaha dengan
Memanfaatkan Bioteknologi
Melalui Pengenalan Aklimatisasi Anggrek
Hasil Kultur Jaringan.
http://staff.uny.ac.id diakses pada
20 Mei 2014.
Sandra, Edhi. 2000. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka.
Slamet. 2011. Perkembangan Teknik Aklimatisasi Tanaman
Kedelai Hasil Regenerasi Kultur
In-vitro. Jurnal
Litbang Pertanian, 30(2), 2011. http://pustaka.litbang.deptan.go.id
diakses pada 18 Mei 2014.
AKLIMATISASI (ANGGREK)
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Aklimatisasi
adalah masa adaptasi tanaman hasil pembiakan pada kultur jaringan yang semula
kondisinya terkendali kemudian berubah pada kondisi lapangan yang kondisinya
tidak terkendali lagi, disamping itu tanaman juga harus mengubah pola hidupnya
dari tanaman heterotrop ke tanama autotrop. Dalam melakukan
aklimatisasi pengelompokan plantlet hasil seleksi. Plantlet dikelompokan
berdasarkan ukurannya untuk memperoleh bibit yang seragam. Sebelum ditanam
plantlet sebaiknya diseleksi dulu berdasarkan kelengkapan organ, warna, hekeran
pertumbuhan, dan ukuran. Plantlet yang baik adalah yang organnya lengkap,
mempunyai pucuk dan akar, warna pucuknya hijau mantap artinya tidak tembus
pandang dan pertumbuhan akar bagus.
Menurut Trubus (2005) ciri-ciri bibit yang berkulitas baik yaitu planlet tampak sehat dan tidak berjamur, ukuran planlet seragam, berdaun hijau segar, dan tidak ada yang menguning. Selain itu planlet tumbuh normal, tidak kerdil, komposisi daun dan akar seimbang, pseudobulb atau umbi semu mulai tampak dan sebagian kecil telah mengeluarkan tunas baru, serta memiliki jumlah akar serabut 3 – 4 akar dengan panjang 1,5 – 2,5 cm. Prosedur pembiakan dengan kultur in vitro baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi. Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan planlet agar siap ditanam di lapangan. Tahap aklimatisasi mutlak dilakukan pada tanaman hasil perbanyakan secara in vitro karena planlet akan mengalami perubahan fisiologis yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini bisa dipahami karena pembiakan in vitro (dalam botol) semua faktor lingkungan terkontrol sedangkan di lapangan faktor lingkungan sulit terkontrol (Herawan 2006 dalam Yusnita 2004).
Menurut Trubus (2005) ciri-ciri bibit yang berkulitas baik yaitu planlet tampak sehat dan tidak berjamur, ukuran planlet seragam, berdaun hijau segar, dan tidak ada yang menguning. Selain itu planlet tumbuh normal, tidak kerdil, komposisi daun dan akar seimbang, pseudobulb atau umbi semu mulai tampak dan sebagian kecil telah mengeluarkan tunas baru, serta memiliki jumlah akar serabut 3 – 4 akar dengan panjang 1,5 – 2,5 cm. Prosedur pembiakan dengan kultur in vitro baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi. Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan planlet agar siap ditanam di lapangan. Tahap aklimatisasi mutlak dilakukan pada tanaman hasil perbanyakan secara in vitro karena planlet akan mengalami perubahan fisiologis yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini bisa dipahami karena pembiakan in vitro (dalam botol) semua faktor lingkungan terkontrol sedangkan di lapangan faktor lingkungan sulit terkontrol (Herawan 2006 dalam Yusnita 2004).
2.
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum aklmatisasi
adalah sebagai berikut:
a.
Mengetahui
teknik aklimatisasi pada tahapan akhir dari kultur jaringan
b.
Meningkatkan
pemahaman dan memberikan ketrampilan melakukan aklimatisasi planlet anggrek.
c.
Mengetahui
adaptabailitas planlet anggrek pada tahap aklimatisasi.
3.
Waktu dan Tempat
Praktikum
Praktikm dilaksanakan pada hari
Kamis, tanggal 13 Maret 2014 pukul 13.20
– 14.30, di Laboratorium Bioteknologi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret.
B. Tinjauan
Pustaka
Kultur Anggrek yang telah mengalami perakaran dikeluarkan dari botol
dengan menggunakan pinset secara hati-hati supaya kultur anggrek tidak
mengalami luka atau patah. Setelah dikeluarkan, kultur anggrek dicuci bersih
menggunakan air yang mengalir. Diusahakan jangan ada sisa agar-agar yang
menempel di akar karena hal ini akan merangsang pertumbuhan jamur. Media
aklitmatisasi berupa sekam bakar, serbuk pakis, serbuk andam, moss, atau akar
pakis. Pronsipnya, media tersebut cukup halus, dapat memegang air dengan baik,
serta bebas dari jamur dan penyakit. Media aklimatisasi sebaiknya distreilisasi
dengan cara menggunakan autoklaf, disemprot fungisida dan dicampur dengan
furadan. Aklimatisasi anggrek bertujuan untuk mengadaptasikan anggrek dengan
lingkungan luar. Kelembapan media aklimatisasi sekitar 80% dan kebutuhan sinar
sekitar 40%. Karena itu, tempat aklimatisasi perlu dinaungi dengan plastik
supaya kelembaban media terjaga baik dan tidak terkena sinar matahari langsung
(Sandra 2000).
Proses aklimatisasi dilakukan dengan
cara bertahap supaya tanaman hasil kultur jaringan dapat beradaptasi dengan
perubahan lingkungan. Baik suhu, kelembaban, cahaya maupun faktor lainnya akan
berbeda dan tanaman hasil kultur jaringan juga memiliki kekurangan dibanding
tanaman yang ditanam di lingkungan alami. Menurut Pierik (1987), tanaman hasil
kultur jaringan memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tidak berkembang
sempurna dan akar yang belum bisa berfungsi dengan baik. Saat pemindahan
tanaman ke kondisi normal atau dalam media pakis, tanah, atau compost, harus
dilakukan secara bertahap dan menghindari infeksi dari fungi serta bakteri
karena tanaman hasil kultur jaringan belum mampu beradaptasi dengan
pathogen-patogen yang biasa ditemukan di lingkungan luar (Cahyaningrum 2012).
Aklimatisasi adalah
masa adaptasi tanaman hasil pembiakan pada kultur jaringan (in-vitro) yang semula kondisinya terkendali kemudian berubah pada
kondisi lapangan yang kondisinya tidak terkendali lagi, disamping itu tanaman
juga harus mengubah pola hidupnya dari tanaman heterotrop ke tanaman autotrop.
Aklimatisasi merupakan tahapan yang sanggat penting untuk dilalui dalam proses
perbanyakan in vitro. Adanya perbedaan yang sangat tajam terutama kelembaban
dan intensitas cahaya lingkungan di dalam botol dan di luar botol menyebabkan
proses aklimatisasi ini merupakan tahapan yang kritis ( Riyadi, 2002). Media tanam merupakan salah satu faktor pendukung
pertumbuhan tanaman agar dapat tumbuh dengan baik. Media tanam berfungsi
sebagai tempat melekat dan tempat menyimpan air yang dapat diperlukan untuk
pertumbuhan. Syarat media tanam anggrek tidak menjadi sumber penyakit,
mempunyai aerasi dan drainase yang bagus mampu mengikat air dan zat hara (Tangti et al., 2012).
Beberapa alasan untuk megecambahkan biji anggrek secara in
vitro adalah :
a.
Biji anggrek sangat kecil dan
mengandung cadangan makanan yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada. Jika
dikecambahkan in vivo kemungkinan besar bisa hilang atau cadangan
makanan tidak mencukupi.
b.
Perkecambahan dan perkembangan bibit
sangat tergantung pada simbiosis dengan
fungi. Jika ditumbuhkan tanpa fungi maka disebut perkecambahan asimbiotik.
c.
Jika biji dihasilkan dari persilangan
tertentu, maka perkecambahan secara in vitro akan meningkatkan persentase
keberhasilannya.
d.
Perkecambahan secara in vitro dapat
membantu perkecambahan embrio anggrek yang
belum berkembang atau belum matang sehingga memperpendek siklus
pemuliaannya atau budidayanya
e.
Perkecambahan dan perkembangan bibit
dapat berlangsung lebih cepat dalam kondisi in vitro karena lingkungan yang terkendali dan tidak ada kompetisi dengan fungi atau bakteri yang tidak menguntungkan
Keberhasilan
kultur in vitro ditentukan oleh keberhasilan aklimatisasi. Keberhasilan aklimatisasi sangat bergantung pada
kondisi fisik plantlet selama periode kultur yang responsif terhadap lingkungan yang belum sempurna, seperti lapisan
lilin dan stomata (Mariska dan Syahid 1992 dalam Kristina dan Syahid 2012). Umumnya, tanaman
hasil kultur in vitro memerlukan daya
adaptasi tinggi karena dipindahkan dari lingkungan autotrop ke kondisi heterotrop
C. Alat, Bahan
dan Cara Kerja
1.
Alat
a.
Pot
b.
Kawat
c.
Gunting
d.
Paku
e.
Lampu bunsen
2.
Bahan
a.
Planlet anggrek
b.
Media tanam:
pakis, arang dan sabut aren
3.
Cara Kerja
a.
Menyiapkan media
tanam untuk aklimatisasi dengan pakis, arang, sabut aren yang telah diletakkan
pada pot (gelas plastik).
b.
Mengambil
planlet anggrek dari dalam botol dengan sangat hati-hati.
c.
Membersihkan
planlet dari sisa-sisa media agar sampai bersih, bila perlu dicuci dengan
menggunakan air bersih.
d.
Menanam planlet
pada media yang sudah disiapkan.
e.
Melakukan
pengamatan pada tanaman selama 2 minggu, jumlah daun dan tinggi tanaman.
D. Hasil Pengamatan
dan Pembahasan
1.
Hasil Pengamatan
Tabel 6.1 Aklimatisasi
Tanaman Anggrek (Dendobrium sp)
Tanggal
|
Jumlah
|
Tinggi
(cm)
|
|
Tunas
|
Daun
|
||
10 April
2014
|
2
|
4
|
3,5
|
17 April
2014
|
2
|
4
|
3.5
|
24 April
2014
|
2
|
4
|
3.7
|
1 Mei
2014
|
2
|
4
|
3.7
|
8 Mei
2014
|
2
|
4
|
3.8
|
15 Mei
2014
|
2
|
4
|
4
|
Sumber: Logbook
2.
Pembahasan
Anggrek Dendrobium merupakan jenis anggrek
asli Indonesia yang mempunyai banyak warna, bentuk dan aroma yang khas, serta
bunganya dapat bertahan kurang lebih 2 mingguan. Anggrek Dendrobium adalah
salah satu genus Anggrek terbesar yang terdapat pada dunia ini, diperkirakan
Anggrek ini terdiri dari 1600 spesies (Amalia 2007). Aklimatisasi merupakan tahapan paling
kritis dan sulit pada proses regenerasi tanaman secara in vitro. Kegagalan aklimatisasi tanaman merupakan kendala yang banyak dijumpai di Indonesia. Oleh
karena itu, tahapan ini memerlukan pengalaman dan penanganan yang sarat
kehati-hatian karena aklimatisasi adalah
mengadaptasikan planlet dari media kultur in vitro ke media tanah pada
ruangan terbuka (Pardal et al,. 2005 dalam Slamet 2011). Menurut Ziv (1986 dalam Slamet 2011),
aklimatisasi adalah masa adaptasi planlet dari kultur heterotrofik menjadi
autotrofik, yang merupakan tahap akhir dari kegiatan kultur in vitro.
Aklimatisasi merupakan adaptasi planlet dari lingkungan yang terkendali (in
vitro) ke lingkungan in vivo sebelum ditanam di lapangan (Husni et
al., 2004 dalam Slamet 2011).
Proses aklimatisasi dilakukan dengan
cara bertahap supaya tanaman hasil kultur jaringan dapat beradaptasi dengan
perubahan lingkungan. Baik suhu, kelembaban, cahaya maupun faktor lainnya akan
berbeda dan tanaman hasil kultur jaringan juga memiliki kekurangan dibanding
tanaman yang ditanam di lingkungan alami. Menurut Pierik (1987), tanaman hasil
kultur jaringan memiliki lapisan lilin (kutikula) yang tidak berkembang
sempurna dan akar yang belum bisa berfungsi dengan baik. Saat pemindahan
tanaman ke kondisi normal atau dalam media pakis, tanah, atau compost, harus
dilakukan secara bertahap dan menghindari infeksi dari fungi serta bakteri
karena tanaman hasil kultur jaringan belum mampu beradaptasi dengan
pathogen-patogen yang biasa ditemukan di lingkungan luar. Pemberian fungisida
diperlukan untuk mencegah serangan jamur, pembersihan media secara benar juga
mengurangi resiko serangan. Pemindahan pertama dilakukan ke dalam ‘community
pot’ yang bisa menampung jumlah bibit yang cukup banyak. Pada tahap awal
kelembaban sangat perlu dijaga dan pemberian nutria tambahan bisa dilakukan
dengan penyemprotan pupuk daun. Selanjutnya bibit bisa dipindah ke pot-pot individu
saat daun dan akar siap untuk mendukung pertumbuhannya (Kuswandi 2012).
Bibit yang telah cukup besar
dikeluarkan dari botol dan dilakukan aklimatisasi (penyesuaian dengan
lingkungan luar). Ciri umum bibit botol yang besar atau siap aklimatisasi antara
lain terdapat daun, terdapat akar, bibit sehat, untuk anggrek Dendrobium tinggi
tanaman sekitar 5 cm, untuk jenis Phalaenopsis jumlah daun minimal 3. Aklimatisasi
dilakukan dengan mengeluarkan anggrek dari dalam botol dengan cara menarik
bibit anggrek satu per satu dengan menggunakan kawat atau memecah botol pada
bagian pangkal botol. Pemecahan botol anggrek dilakukan apabila kondisi tanaman
di dalam botol sudah terlalu besar sedangkan mulut botol kecil, sehingga
apabila mengeluarkan tanaman dengan cara ditarik menggunakan kawat
dikhawatirkan tanaman tersebut akan patah dan mengalami kerusakan.
Media yang remah akan memudahkan
pertumbuhan akar dan melancarkan aliran air, mudah mengikat air dan hara, tidak
mengandung toksin atau racun, kandungan unsur haranya tinggi, tahan lapuk dalam
waktu yang cukup lama (Waluya 2009 dalam Nasution 2010). Media harus bersifat
menyimpan air dan tidak mudah memadat. Media padat menyebabkan air tergenang
sehingga aerasi udara rendah. Gejala yang tampak, daun dan batang menjadi layu.
Akar sehat biasanya bewarna putih dan memiliki rambut-rambut halus. Jika aerasi
rendah, akar yang putih berubah jadi coklat lalu menghitam. Jumlah rambut akar
berkurang bahkan tak ada. Padahal ia berfungsi untuk menyerap hara. Selain
masalah aerasi, media padat juga mengundang bakteri dan cendawan penyebab
busuk.
Pakis baik untuk media anggrek
karena memiliki daya mengikat air, serta aerasi dan draenase yang baik. Pakis
juga sangat awet karena melapuk secara perlahan-lahan dan mengandung unsur hara
yang dibutuhkan anggrek untuk pertumbuhannya. Arang merupakan media yang cukup
baik untuk digunakan karena tidak cepat lapuk dan tidak mudah ditumbuhi
cendawan dan bakteri. Namun, arang sukar mengikat air dan miskin zat hara. Serabut
kelapa mudah melapuk dan mudah busuk, sehingga dapat menjadi sumber penyakit
tetapi daya menyimpan air sangat baik dan mengandung unsur-unsur hara yang
diperlukan serta mudah didapat dan murah harganya (Agromedia 2006 dalam
Nasution 2010).
Hasil pengamatan yang telah
dilakukan pada prakikum aklimatisasi anggrek ini, tidak terdapat perubahan
jumlah tunas maupun jumlah daun dari minggu ke minggu, tunas tetap berjumlah
dua dan daun tetap berjumlah empat. Tinggi tanaman dari minggu ke minggu mengalami
penaikan dari 3,5 cm menjadi 4 cm.
E. Kesimpulan
dan Saran
1.
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum acara
Aklimatisasi Anggrek ini adalah sebagai berikut:
a.
Tunas dan jumlah
daun tidak mengalami perubahan melainkan tetap, tunas tetap berjumlah dua dan
daun tetap berjumlah empat.
b.
Tinggi tanaman
mengalami penaikan jumlah dari semula 3,5 cm menjadi 4 cm.
2.
Saran
Penyiraman pada media aklimatisasi
anggrek sebaiknya dilakukan secara rutin dan menjaga kelembabannya agar tidak
terlalu kering yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman anggrek.
|
Cahyaningrum,
Paramita Kuswandi. 2012. Makalah ppm Menumbuhkan Semangat
Berwirausaha dengan Memanfaatkan Bioteknologi
Melalui Pengenalan
Aklimatisasi Anggrek Hasil Kultur
Jaringan. http://staff.uny.ac.id diakses pada 26 Maret 2014.
Hendriyanti, Dessy, Antrasita Esti U., Harkingto, Lusia Anggraita W. B., Winesty
Dewi
N. 2012. Wirausaha Tanaman Anggrek Secara Kultur Jaringan. http://dosen.naratoma.ac.id diakses pada 20 Mei 2014.
Kristina, Nova
Natalini dan Syahid Siti Fatimah. 2012. Pengaruh Air Kelapa Terhadap
Multiplikasi Tunas In Vitro, Produksi Rimpang, dan Kandungan
Xanthorrhizol Temulawak di Lapangan. Jurnal Littri 18(3), September 2012. Hlm.
125-134.
http://perkebunan.itbang.deptan.go.id diakses
pada 19 Mei 2014.
Kuswandi, Paramita Cahyaningrum. 2012. Menumbuhkan Semangat Berwirausaha
dengan Memanfaatkan Bioteknologi Melalui Pengenalan Aklimatisasi
Anggrek Hasil Kultur Jaringan.
http://staff.uny.ac.id diakses pada
20 Mei 2014.
Nasution,
FN. 2010. Pengaruh Media Tumbuh dan Pupuk Daun terhadap Aklimatisasi Anggrek. http://repository.usu.ac.id diakses pada 20
Mei 2014.
Sandra, Edhi. 2000. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Agromedia Pustaka.
Slamet. 2011.
Perkembangan Teknik Aklimatisasi Tanaman Kedelai Hasil Regenerasi Kultur In-vitro. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2), 2011. http://pustaka.litbang.deptan.go.id
diakses pada 18 Mei 2014.
Tangti
Yosepa, Chairani Siregar, Evi Gusmayanti. 2012. Pengaruh
Penggunaan Jenis media Terhadap
Aklimatisasi Anggrek Dendrobium sp(hibrida). Jurnal
Sains Mahasiswa Pertanian Vol.2 No.2. http://jurnal.untan.ac.id
diakses pada 26 Maret 2014.
Komentar
Posting Komentar